Pejuang Tanah Melayu, Engku Puteri Hamidah
Perempuan Pejuang Tanah Melayu, Engku Puteri Hamidah
"Melawan dengan Kata-Kata" Oleh : RIDA K. LIAMSI I. Pendahuluan. Di
panggung sejarah Kemaharajan Melayu yang jatuh-bangun selama hampir 500 tahun,
sejak pertengahan abad ke-15 sampai awal abad ke-20, mulai dari era Malaka
sampai ke era Lingga, memang tercatat sejumlah nama perempuan yang perkasa,
berhati baja, dan telah berjuang dengan segala daya mereka, baik dalam membela
negeri, kekuasaan, maupun martabat bangsa dan kaumnya. Ada yang berjuang dengan
menghunus senjata, berperang dari satu laut ke laut lain, ada yang menggunakan
segenap kekuatan pesona dan ketegarannya untuk melawan kezaliman para penguasa,
ada yang berjuang dengan segenap daya menegakkan marwah, harkat dan martabat
negeri dan bangsanya. Ada nama seperti Tun Fatimah, permaisuri Sultan Mahmud I
Malaka, puteri Tun Mutahir, sang Bendahara. Dia bertempur bersama Sultan Mahmud
menghadapi serangan Portugis (1511), mulai dari Malaka, terus ke Bintan, dan
akhimya mundur ke Kampar, di mana Sultan Mahmud mangkat dan Malaka takluk.
Meskipun Tun Fatimah tidak mencintai suaminya, sang Sultan, tapi dia menyabung
nyawa, demi negeri bernama Malaka. Ada nama sepertu Ratu Emas, isteri Raja Haji
Fisabilillah. Puteri Sultan Jambi ini berjuang melawan kompeni Belanda dalam
Perang Riau (1782-1784). Bersama suaminya Yang Dipertuan Muda IV Raja Haji
Fisabilillah, mereka menyerang kompeni di Malaka. Saat Raja Haji tewas dan
jenazahnya dilarikan Belanda dan dikuburkan secara diam-diam di kaki benteng
Malaka, Ratu Mas berjuang untuk merebutnya kembali dengan darah dan airmata,
meskipun dia gagal. Ada Tun Teja, wanita jelita tetapi berhati baja. Dia
melawan kezaliman Sultan Malaka, suaminya, untuk mempertahankan hak dan harkat
perempuan sebagai permaisuri, sebagai ratu penjaga negeri. Dia berjuang
menyelamatkan negeri Pahang, tempat dia dibesarkan dari rampasan Sultan Malaka.
Juga Puteri Retno Dumilah, puteri Raja Majapahit, yang mengembara ke negeri
Malaka, karena cintanya kepada Laksamana Hang Tuah, namun dia dipaksa oleh
Sultan Malaka untuk dijadikan permaisurinya. Dia lebih rela menjadi Pen Asmara
dan rnenghuni Gunung Ledang di darat Malaka, ketimbang menghianati cinta dan
hati nuraninya. Dan Tentu saja ada Engku Puteri, permaisuri Sultan Mahmud III,
Sultan Riau-Lingga (1762-1812), yang melawan semua tekanan kekuasaan, baik
kerajaan Lingga, maupun tekanan Inggris dan Belanda, untuk mempertahankan hak
dan marwah kerajaan, kekuatan adat dan budaya Melayu, meski yang ada padanya
hanya keyakinan, ketegapan hati, dan semangat baja. Dia berjuang dengan
kekuatan hujjah, hukum, norma, adat dan kata-kata bijak lainnya, melawan
senapan, kelewang, suap dan meriam kekuasaan. Masih banyak nama lain, seperti
Tengku Embung Fatimah, Tengku Tengah, dll. sosok yang begitu tegar, teguh, dan
juga ambisius. Cerita keperkasaan para perempuan itu, memang ada yang tercatat
sebagai sebuah jejak sejarah, ada yang masih sebuah legenda, tetapi menyebar
dalam cerita dan riwayat keperkasaan dari mulut ke mulut, dari kronik dan
cerita rakyat. Tapi kertas kerja ini, hanya ingin membicarakan tetang Engku
Puteri, sosok perkasa yang ada dan tercatat dalam sejarah Riau Lingga, meski
dengan bahan-bahan yang masih terbatas dan seadanya. Kertas kerja ini ingin
mengetengahkan bahwa perlawanan dengan kata-kata, dengan keteguhan sikap,
dengan semangat menegakkan harkat, martabat dan harga diri suatu bangsa, adalah
juga perlawanan yang tidak kalah gagah beraninya dibandingkan dengan perjuangan
dengan keris, kelewang, senapan, meriam dan kapal perang. Perlawanan budaya,
dan pemberontakan kultural, adalah perjuangan dan perlawanan yang tak bisa
dilihat dengan sebelah mata saja dari rangkaian perlawanan menentang penindasan
dan perampasan hak-hak dan keadilan., penjajahan, dan tipu muslihat politik,
sepanjang sejarah jatuh bangunnya nusantara ini. II. Siapa Engku Puteri ? Nama
perempuan ini ketika dilahirkan adalah Raja Hamidah. Anak perempuan pertama
Raja Haji, Yang Dipertuan Muda Riau Lingga IV ( 1778-1874 ). Ibunya, adalah
Raja Perak, puteri Daeng Kamboja, Yang Dipertuan Muda Riau Lingga III (1748
-1777). Daeng Kamboja, adalah anak Daeng Parani, saudara tertua dari lima
bersaudara para pendekar Bugis Luwu yang datang merantau ke semenanjung (Daeng
Prerani, Daeng Marewa, Daeng Celak, Daeng Manambun, Daeng Kemasi ). Raja Ali
Haji sendiri adalah anak Daeng Celak. Jadi mereka masih bersepupu. Begitulah
perkawinan para keturunan bangsawan Bugis-Melayu di era kerajaan
Johor-Riau-Lingga itu (1722-1912) diatur dan direkayasa, untuk menjaga panca
kaki garis keturunan dan kekuasaan. Raja Hamidah adalah keturunan Melayu Bugis,
generasi kedua. Generasi pertama adalah ayahnya, Raja Haji (anak Daeng Celak
dengan Tengku Mandak). Karena itu mereka memakai gelar Raja. Tapi ibunya, Raja
Perak itu (anak Daeng Kamboja), adalah isteri kedua dari Raja Haji. Isteri
pertamanya adalah Tengku Lebar, anak Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah, Sultan
Johor-Riau yang I (1722-1760). Dan perkawinannya yang pertama ini, lahir Raja
Djaafar, yang kelak, menjadi Yang Dipertuan Muda Riau Lingga ke VI (1805-1831).
Saya memang belum menemukan catatan pasti, bila Raja Hamidah dilahirkan. Tapi
dengan mencermati beberapa catatan lain dalam sejarah jatuh bangun kerajaan
Riau Lingga, diperkirakan Raja Hamidah lahir sekitar tahun 1774. Ini dikaitkan
dengan catatan kepergiannya bersama abang sepupunya Raja Ali bin Daeng Kamboja
yang kelak menjadi Yang Dipertuan Muda V (1803-1805), saat selesai perang Riau,
1784, dimana mereka menyingkir ke Siantan dan Sukadana (Kalbar). Saat itu
dikatakan bahwa dia sebagai gadis sunti (mungkin 9 atau 10 tahun), dan abangnya
Raja Djaafar diperkirakan saat itu berusia 18 tahun, karena ketika dilantik
menjadi Yang Diprtuan Muda, usianya diperkirakan 40 tahun. Raja Hamidah
dilahirkan di Ulu Riau, pusat pemerintahan kerajaan Riau Lingga, setelah pusal
kerajaan pindah dari Johor. Ketika dia dilahirkan, ayahnya, Raja Haji masih
bestatus Kelana Putera Jaya, yaitu jabatan yang diberikan kepada calon Yang
Dipertuan Muda. Tugasnya menjaga teluk rantau, dan memerangi musuh yang datang.
Raja Hamidah mungkin dilahirkan di istana Kota Piring, karena ayahnya sudah
membangun istana megah itu, jauh sebelum dia menjadi Yang Dipertuan Muda.
Mungkin juga di kawasan istana Yang Dipertuan Besar di Ulu Riau, karena di
kawasan itu dahulunya baik Yang Dipertuan Besar (sultan), maupun Yang Dipertuan
Muda, menetap bersama. Catatan yang ada menunjukkan hanya adiknya, Raja Ahmad,
yang dipastikan lahir di Istana Kota Piring itu, 1778. Raja Hamidah masih
mempunyai beberapa saudara yang lain. Yang seibu dan seayah, adalah Raja Siti.
Seayah berlainan ibu, antara lain Raja Djafaar, Raja Idris, dan tentu saja Raja
Ahmad, si bungsu. Sebagai puteri seorang Panglima perang, Kelana Jaaya Putera,
Yang Dipertuan Muda, maka Raja Hamidah tentulah dibesarkan dalam tradisi
istana, tradisi kebangsawanan, tradisi perang dan militerisasi. Tetapi, Raja
Haji juga seorang yang sangat taat beragama, menghargai para ulama, dan ke
istannya di Kota Piring, dia telah mendatangkan banyak guru dan ulama, dan
mereka mengajar ilmu-ilmu, baik agama Islam maupun ilmu pengetahuan lainnya,
termasuk baca tulis huruf Jawi, kepada keluarga istana, dan para pembesar
negeri. Kecuali itu, Raja Hamidah pun dibesarkan dalam tradisi adat yang kuat,
baik tradisi adat Melayu melalui Ibunya, maupun dari para pemuka adat dari
garis Bugis. Tradisi ini tentu ikut membentuk karakter dan pemahaman Raja
Hamidah tentang dirinya, posisinya sebagai puteri bangsawan, sebagai ahli waris
dari seorang Yang Dipertuan Muda, dan garis keturunan yang unggul, baik dari
garis Melayu maupun Bugis. Proses pendidikan di Dalam Besar istana Yang
Dipertuan Muda, pengembaraannya di tengah perang bersama abang sepupunya Raja
Ali, dan konflik politik yang mewarnai masa mudanya, tentulah akhirnya
mewujudkan sosok Raja Hamidah yang anggun, kukuh, beradat istiadat, cerdas, dan
berpengetahuan. Memang agak sulit menemukan deskripsi tetang sosok Raja Hamidah
sebagai seorang wanita. Kerupawanan, kejelitaan, dan lain-lain tanda-tanda
kesempumaan seorang perempuan. Sebagai wanita keturunan campuran Melayu yang
jelita, gemulai, dengan Bugis yang tegar, teguh, dan karismatis, tentulah dapat
dibayangkan pada sosoknya. Beberapa sumber tertulis, menyebutkan Raja Hamidah
sebagai seorang perempuan yang sangat elegan, cerdas dan bijaksana. Wanita
anggun dan sangat berwibawa. Raja Hamidah telah masuk ke wilayah kekuasaan dan
politik begitu dia dewasa, dan kemudian dipersunting Sultan Mahmud III dan
menjadi permaisuri kerajaan Riau Lingga. Saat menikah dengan Sultan Mahmud
tahun 1803, Raja Hamidah memang sudah menjadi seorang perempuan yang matang,
dan karena itu dinilai sanggup memikul berbagai masalah pelik bagi seorang
perempuan istana, baik beban politik maupun tekanan kekuasaan lain dipundaknya,
yang dititipkan para pemuka adat dan pembesar negeri, khususnya keturunan
Bugis. Usianya yang sekitar 29 tahun, tentulah telah memberikan Raja Hamidah
usia yang matang dan bijak, baik sebagai seorang bangsawan dan pihak Bugis,
maupun sebagai seorang permaisuri. Dia begitu setia mendampingi sang Sultan
sebagai permaisuri yang gahara sampai Sultan Mahmud III mangkat (1812). Bukan
hanya sebagai permaisuri, tetapi juga seorang penasehat, pemegang teraju adat
dan tradisi, serta menjalankan tugasnya sebagai Pemegang Regalia Kerajaan.
Wanita Ranggi, Peri sejarah ini, meninggal 5 Agustus 1844, di istananya, di
pulau Penyengat. Jika benar dia lahir sekitar tahun 1774, maka saat meninggal,
wanita perkasa dan berhati baja ini, berusia sekitar 70 tahun. Dia memang hidup
lebih lama dibanding sang abangnya Raja Djaafar, Yang Dipertuan Muda Riau
Lingga VI, yang meninggal tahun 1831, yang saat meninggal diperkirakan berusia
66 tahun. Keduanya meninggal dengan memendam rasa pedih dan kecewa atas takdir
politik, meski keduanya merasa, telah mengemban tugas dipundak masing-masing
dengan sekuat rasa. Mereka harus memendam luka persaudaraan yang lama dan
berdarah. Sepak terjangnya sebagai permaisuri, sebagai ibu suri, sebagai
pemegang regalia kerajaan, telah membuat namanya ditulis dan dicatat dalam
berbagai buku kronik dan sejarah. Orang mengaguminya sebagai perempuan yang
tegar, keras, dan tak kenal menyerah atas prinsip hidup dan amanah yang
dilimpahkan kepadanya, dan juga seorang permaisuri yanag kesepian. Raja Hamidah
dimakamkan di pulau Penyengat. Kini makamnya yang terawat baik dalam komplek pemakaman
para bangsawan kerajaan Melayu Riau Lingga, banyak dikunjungi, terutama para
penziarah yang ingin melihat dan mencatat jejak perjuangannya yang menggetarkan
itu. III. Apa Perannya dalam Sejarah Riau Lingga ? Peran Raja Hamidah (Engku
Puteri) dalam jejak sejarah kerajaan Melayu Riau Lingga dapat dilihat secara
terang, setelah dia menikah dengan Sultan Mahmud III. Perkawinannya dengan
Sultan Mahmud, memang sebuah perkawinan politik, bukan perkawinan yang bangkit
dari bara cinta. Ketika perkawinan itu terjadi, mereka berselisih usia 20 tahun
lebih. Sultan Mahmud mendekati umur 50 tahun, dan sudah punya tiga isteri. Yang
pertama, Engku Puan, puteri Bendahara Pahang, yang dianggap sebagai permaisuri
gahara. Yang kedua, Encik Makoh, keturunan Bugis, dan yang ketiga Encik Manam,
keturunan Melayu. Raja Hamidah menerima pernikahan itu dan ikhlas menjadi
isteri keempat, dan dia sadar saat menjalani perkawinan itu, paling tidak
mengemban tiga tugas berat: Pertama, inilah nikahul siasah (perkawinan politik)
untuk meredam konflik politik antara pihak Melayu dan Bugis, akibat perebutan
kekuasaan dan jabatan Yang Diprertuan Muda Riau Lingga antara Tengku Muda
Muhammad (Putera Temenggung Abdul Jamal) dengan Raja Ali (putera Daeng Kamboja
). Konflik politik yang diwarnai perang saudara ini, berlangsung lebih dari 8
tahun (1795 -1803) dan menelan banyak harta dan nyawa. Tengku Muda Muhammad
merasa berhak sebagai Yang Dipertuan Muda, karena dialah yang ditugaskan dan
diangkat oleh Sultan Mahmud sebagai Raja Muda (sebutan jabatan itu dari pihak
Melayu. Sementara pihak Bugis menyebutnya Yang Dipertuan Muda), setelah Belanda
yang menang perang melawan Riau ( 1784 ) sebagaimana isi perjanjian di atas
kapal perang Utrecht yang mensyaratkan bahwa jabatan Raja Muda (Yang Dipertuan Muda)
tidak boleh diberikan kepada keturunan Bugis. Sedangkan Raja Ali, juga merasa
berbak, karena jabatan Yang Dipertuan Muda itu hak keturunan Bugis dan sudah
diikrarkan dalam Sumpah Setia Melayu-Bugis dan dia katanya sudah dilantik
menjadi Yang Dipertuan Muda Riau Lingga oleh Sultan Ibrahim, Selangor, saudara
Raja Haji, setelah Raja Haji tewas di Teluk Ketapang. (Inilah sengketa politik
yang unik. Raja Ali, anak Daeng Kamboja, cucu Daeng Perani. Sementara Tengku
Muda Muhamamad itu, anak Raja Maimunah dan Raja Maimunah ini, adalah anak Daeng
Perani. Jadi yang berkelahi dan berebut kuasa itu, adalah cucu-cucunya Upu
Daeng Perani. Satu mewakili dinasty Bugis Luwu, yang satu mewakili dynasti
Melayu Johor. Tapi di darah kedua kaum itu sudah bercampur baur. Konflik ini
memang benar-benar konflik kepentingan dan nafsu politik mereka). Untuk meredam
konflik ini, maka harus ada perdamaian dan penyelesaian politik yang
menguntungkan kedua belah pihak. Dan orang dibalik sekenario politik, dan
perdamaian ini, adalah Raja Lumu, Sultan Selangor yang disebut Sultan
Salahuddin (Anak Daeng Celak, saudara kandung Raja Haji Fisabilillah, ayah
saudara sepupu kedua tokoh yang bertikai itu). Raja Lumu ini, dalam perjalanan
sejarah Riau Lingga memang menjadi tokoh sentral pihak Bugis, yang sangat
disegani dan dihormati para keturunan Bugis, dan tentu saja yang sangat tidak
disenangi pihak Melayu, melalui Temenggung Johor, Bendahara Pahang, dan tokoh
sentralnya Tun Dalam, Raja Terengganu. Maka lahirlah, apa yang disebut sebagai
Perdamaian Kuala Bulang (mengambil nama sebuah pulau besar di sekitar Batam,
tempat menetap pihak keturunan Melayu, seperti Temenggung Johor dan Bendahara
Pahang ), September 1803. Inti kesepakatan politik itu, antara lain adalah:
Sultan Mahmud, sebagai sosok keturunan Melayu yang berkuasa akan mengawini Raja
Hamidah (sosok keturunan Bugis, dan penerus Raja Haji Fisabilillah), dengan
tujuan meluluhkan perseteruan Melayu dan Bugis. Bukan hanya dalam politik, juga
dalam kehidupan sehari-hari. Dalam bayangan mereka, kelak. jika ditakdirkan,
putera yang lahir dari perkawinan ini, akan menjadi putera mahkota (Tengku
Besar, begitu sebutannya) sebagai calon sultan yang gahara, dan ditubuhnya
darah Melayu dan Bugis bersatu, dan akan menjadi keturunan Bugis Melayu pertama
di tahta kerajaan Riau Lingga (sebelumnya semua Sultannya punya darah Melayu
yang sangat kuat, karena jabatan Sultan itu memang menjadi haknya orang-orang
keturunan Melayu ). Itulah beban politik dan sejarah yang diletakkan dibahu
perempuan bangsawan yang berusia 29 tahun itu. Sementara itu, untuk
mengeleminir konflik lainnya, anak Tengku Muda yang bernama Tengku Buntat
(neneknya Raja Maimunah adalah anak Daeng Perani), dikawinkan dengan putera
sulung Sultan Mahmud, yang bemama Tengku Husin atau Tengku Long (ibunya Encik
Makoh, ketuman Bugis, tetapi bukan permaisuri yang gahara). Inipun sekenario
penyelasaian melalui percampuran darah. Kelak, putera Tengku Husin dan Tengku
Buntat, diharapkan akan menjadi Sultan Riau Lingga dari campuran darah Bugis
Melayu yang sudah sulit dibedakan. Kemudian Raja Ali, mendapat kembali jabatan
Yang Dipertuan Muda. Hanya Tengku Muda Muhammad, yang meski anaknya menjadi
calon permaisuri kerajaan Riau Lingga, tapi dia menolak jadi Temenggung Johor
mengganti ayahnya Temenggung Abdul Jamal yang meninggal. Tengku Muda Muhammad
memilih menyingkir ke Temasik dan kemudian meninggal di sana. Jabatan
Temenggung, diberikannya kepada anak saudaranya Tun Abdurrahman. Kedua, sebagai
puteri bangsawan yang darah Bugisnya lebih besar, dapat diperkirakan, pihak
Pembesar Bugis, ingin Raja Hamidah dapat menjaga kepentingan pihak Bugis di
puncak kekuasaan. Baik dalam mengatur jabatan, maupun kepentingan ekonomi dan
kekuasaan lainnya. Dia diharapkan menjadi kekuatan di belakang layar yang
mengatur percaturan kekuaasaan yang menguntungkan pihak Bugis, sampai kepada
penetapan siapa pengganti Mahmud kelak sebagai sultan. Karena itu, masuk
akallah kalau Tengku Husin, disebut-sebut sebagai pilihan utama untuk dijadikan
pengganti Mahmud, jika perkawinan Mahmud dan Raja Hamidah tidak menghasilkan
keturunan (malangnya, memang begitulah takdirnya, meskipun menurut satu catatan
Raja Hamidah sempat melahirkan seorang puteri, namun meninggal), karena selain
darah bugisnya lebih besar, dia juga putera yang sulung. Bukan Tengku
Abdurrahman, yang darah Melayunya lebih besar, karena ibunya Encik Mariam
adalah keturunan Melayu, dan juga bukan putera dari permaisuri gahara. ltulah
beban yang agaknya dipanggul Raja Hamidah, yang setelah menjadi permaisuri,
kemudian bergelar Engku Puteri itu. Dalam perjalanan kepermaisuriannya, memang
ada beberapa catatan yang menyatakan bahwa Raja Hamidah memang sangat
menyayangi dan memanjakan Tengku Husin, anak tirinya itu. Tidaklah jelas,
apakah itu kemudian memang perwujudan dari beban politik yang dipikulkan oleh
petinggi pihak Bugis kepadanya. Namun, sebuah kenyataan yang juga tercatat
dengan baik adalah, temyata Raja Hamidah lebih meletakkan dirinya, bukan
sebagai personifikasi kepentingan politik keturunan Bugis semata, tapi benar-benar
sebagai seorang isteri, seorang perrnaisuri, tempat Sultan Mahmud meletakkan
kasih sayang dan kerinduannya. Kecantikannya, kecerdasannya, keteguhan hati,
dan pemahamannya yang luas tentang politik, adat istiadat dan kebiasaan
negeri-negeri yang besar (Engkun Puteri banyak belajar dari sepupunya Raja
Ibrahim, Sultan Selangor tentang pemerintaan, dan belajar membangun negeri
dengan sering berkunjung ke Selangor, Malaka, dll di semenanjung Malaka)
membuat pengetahuannya sangat luas, dan arif dalam bersikap. Engku Puteri telah
menjadi Think Tanknya Sultan Mahmud. Menjadi penasehat (bukan pembisik), dan
pengawal adat istidat dan budaya kerajaan Melayu. Karena itu pulalah agaknya,
kemudian Sultan Mahmud, memberi dia tugas menjadi penjaga dan pemegang Regalia
Kerajaan (sebuah perangkat sakral kerajaan, tanda dan panji kebesaran,
perangkat nobat, Sirih Besar, gendang, nafiri, dll). Perangkat kebesaran ini
adalah supremasi tetinggi bagi eksistensi sebuah kekuasaan, sebuah negeri,
sebuah kedaulatan tidak akan sah dan berdaulat seorang Sultan, jika
pelantikannya tidak menggunakan Regalia ini. Karena itu Pumegang Regalia itu,
sekaligus juga adalah penjaga adat istidat, dan tradisi . Di dalam kesatuan
antara Regalia dan adat kebesaran budaya kerajaan itu, melekat marwah
(kehormatan), harkat dan martabat kerajaan Riau Lingga. Jika rusak dan binasa
kedua kekuatan spritual ini, maka hancur dan runtuhlah harkat dan harga diri
bangsa itu. Bagi Kerajaan-kerajaan Melayu, sebuah kerajaan boleh saja
ditaklukan, direbut, dan dikuasai oleh pihak lain. Raja atau Sultannya bisa
saja terusir dan melarikan diri ke kawasan lain, mencari pertindungan. Tetapi,
selagi Regalia Kerajaan tidak dirampas, tidak direbut, selagi Regalia sakti dan
keramat itu masih dipegang sang Rajanya, maka selagi itulah kedaulatan negeri
itu masih tegak. Sultannya tetap punya daulat, dan dia bisa berkerajaan dimana
saja, dan dirajakan dimana saja. Karena sukma yang sakti itu, belum
ditaklukkan. Karena itulah, siapapun yang memegang dan diberi tugas menjaga Regalia
itu, adalah seorang yang kuat dan perkasa. Seorang yang kuasanya jauh diatas
kekuasaan lain, termasuk sultannya sendiri. Ketiga, sebagai keponakan Sultan
Selangor (Raja Lumu), Raja Hamidah diharapkan menjadi sosok yang menjadi simbol
dari eksistensi keturunan Bugis yang ada di Riau, tempat kaumnya berlindung dan
hidup terjaga di negeri orang. Ini beban yang tak kurang beratnya. Karena,
begitu selesai pesta perkawinannya dengan Sultan Mahmud, maka sang Sultan
memaklumkan bahwa dia menganugerahkan Raja Hamidah, sebuah pulau, yaitu pulau
Penyengat Inderasaksi, sebagai maskawin dan tempat kediaman, sebagai istana
permaisuri. Dengan penganugerahan itu, maka Mahmud juga memaklumkan, bahwa
sejak hari itu dia membagi wilayah kuasa ekonomi antara pihak Melayu dan Bugis.
Raja Hamidah, dengan para saudara-saudara dari pihak bugis lainnya, akan
memiliki pulau penyengat dan kawasan sekitarnya, sebagai "daerah
permakanan". Sumber ekonomi, pendapatan, dan biaya hidup mereka, dan pihak
Melayu tidak boleh mengganggu gugat. Maka di pulau Penyengat itu pulalah,
misalnya, Yang Dipertuan Muda Riau Lingga, sebagai sosok Bugis dan kuasanya,
akan beristana dan mengendalikan pemeritahan (urusan pertahanan, ekonomi,
politik dan hubungan luar negeri ). Sedangkan Lingga (Daik dan sekitamya)
menjadi kawasan "permakanan" pihak Melayu, melalui sosok Tengku
Abdurrahman (si Komeng ), putera Sultan Mahmud, dan pihak Bugis tidak boleh
mengganggunya (di Singkep ketika itu sudah ditemukan dan diproduksi timah).
Beberapa penulis sejarah tentang jatuh-bangunnya keraajaan Melayu Riau Lingga
menganggap keputusan Sultan Mahmud membagi wilayah permakanan ini sebagai
keputusan politik yang luar biasa dampak dan pengaruhnya dikemudian hari bagi
kedua kaum itu dan kerajaan itu sendiri. Engku Puteri memang gagal menjadi
permaisuri yang mewariskan putera mahkota dan membangun zuriat dari darahnya
untuk menjadi Sultan di puncak kekuasaan Riau Lingga. Tapi, dia berhasil
menjadi benteng yang tangguh sebagai pemegang, pemelihara, dan pengawal
Kebesaran dan Kedaulatan kerajaan, yang bernama Regalia itu. Dia berhasil
menjadi kekuatan yang senantiasa menjaga kesucian Sirih Besar dan perangkat
kebesaran dan lambang kekekuasaan itu. sebagai kekuatan suci dan semua yang di
bawahnya harus tunduk dan berlutut. Itulah sebab mengapa dia rela berselisih
paham, dan nyaris memutus hubungan darah dan persaudaraan dengan abangnya Raja
Djaafar, Yang Dipertuan Muda Riau Lingga, ketika Raja Djaafar justru menetapkan
Tengku Abdurrahman (Raja Jumat atau si Komeng ) sebagai pengganti Sultan Mahmud
yang mangkat, dan bukan memilih putera sulung Sultan, Tengku Husin. Engku
puteri menentang pemilihan itu, dan menganggap penetapan Tengku Abdurrahman
itu, melanggar adat dan kebiasaan, apalagi ketika itu Bendahara dan Temenggung,
dua pejabat teras kerajaan tidak berada di tempat dan belum memberi
persetujuan. Raja Djaafar dianggap melanggar tradisi dan menjatuhkan marwah
kerajaan Riau Lingga. Karena itu pula, dia tidak mau menyerahkan Regalia
kerajaan itu ke tangan Tengku Abdurrahman sebagai simbol pelantikan. Dia
membawa pusaka keramat itu ke istananya di Penyengat, dan membiarkan Raja
Djaafar melantik Sultan Abdurrahman (1812) tanpa regalia. Membiarkan peristiwa
pelantikan itu menjadi sebuah peristiwa yang sumbang dan memalukan. Dan membiarkan
Sultan Abdurrahman merasa belumlah sebagai Sultan, dan membiarkan Raja Djaafar
sang Yang Diperttuan Muda, berduka dan terluka. Perseteruannya dengan abangnya
itu, menjadi konflik baru Bugis Melayu yang formulasinya sudah makin sulit
diterjemahkan. Konflik itu tidak lagi konflik darah dan keturunan, tetapi
menjadi konflik kepentingan, kekuasaan, dan rasa ketidak puasan lainnya yang
rawan untuk ditunggangi oleh tangan-tangan politik yang keji dan jahat. Begitu
marahnya Engku Puteri kepada abangnya itu, membuat dia nyaris tidak pernah lagi
menjejakkan kaki ke Lingga. Dan Raja Djaafar pun, begitu kecewa pada adiknya,
sehingga tidak lagi mau beristana di Penyengat, dan memilih tetap di Daik,
Lingga. Perseteruan ini begitu melukakan (meskipun akhirnya Regalia itu
berhasil diambil oleh Sultan Abdurranman dengan bantuan Belanda secara paksa,
1821) dan terus berdarah. Hanya, ketika datang kabar Raja Djaafar gering dan
hampir naza’, maka Engku Puteri akhirnya pergi juga ke Lingga. Dia memaafkan
abangnya, agar abangnya dapat menghadapi maut dengan tenang dan tanpa beban.
Raja Djaafar pun demikian, seakan hanya rela meninggalkan dunia fana itu
setelah berdamai dengan adiknya (cerita ini dengan bagusnya ditulis oleh Raja
Ahmad, adik bungsu mereka dalam Syair: Engku Puteri pergi Ke Lingga). Engku
Puteri ingin membawa abangnya yang sedang sakit itu ke Penyengat, dan
merawatnya, tetapi abangnya menolak. Akhinya, setelah melihat sakit abangnya
berangsur pulih, dia pun kembali ke Penyengat. Tetapi, kesembuhan itu temyata hanya
permainan perasaan, untuk menyenangkan hati mereka yang ditinggalkan. Tak lama
Raja Djaafar pun rneninggal dengan tenang di Daik. Di kebumikan disana., dan
baru beberapa tahun kemudian, jenazahnya di bawa ke Penyengat dan dimakamkan di
sana. Dan Engku Puteri, membawa luka itu yang secara tak terasa terus
menggerogoti usianya. Kesedihan melihat penderitaan abangnya akibat sengketa
itu, membuat Engku Puteri menjadi nelangsa sampai akhir hayatnya. Batinnya
bertambah parah, melihat regalia yang sakral itu dirampas oleh kekuasaan asing.
Kepedihan itu menjadi luka sejarah. Itulah yang menggoda saya untuk menulis
puisi panjang: Dan sejarah pun berdarah.... Sebagai ingatan betapa peristiwa
itu menjadi riwayat yang mendukakan. IV. Melawan dengan Kata-Kata Tetapi peran
dan eksistensi Engku Puteri sebagai sosok perempaun yang tegar, kukuh, dan
berhati baja, dan melawan sekuat tenaga, untuk mempertahankan marwah dan
martabat kerajaan Riau Lingga sebagai sebuah negeri yang berdaulat, bukan hanya
melawan kesewenangan kekuasan Sultan Riau Lingga Abdurrahman dan Yang Dipertuan
Muda Raja Djaafar yang telah melanggar pantang dan menyepelekan adat istiadat,
dan tidak menghargai pandapat dan nasehat sang pemegang Regalia. Tetapi,
perlawanan yang lebih keras dan perjuangan yang lebih berat, adalah ketika ada
kekuatan asing yang ingin merampas Regalia itu, bagi kepentingan kekuasaan dan
politik mereka. Ini ditandai dengan dua peristiwa penting, dan sangat
historikal: Pertama, ketika Inggeris mulai menjalankan politik kotorya untuk
memecah belah kerajaan Riau Lingga. Mereka, memanipulasi perasaan kecewa Tengku
Husin yang gagal menjadi Sultan Riau dan Kelompok Temenggung Johor yang merasa
telah disingkirkan pihak Bugis, dengan cara mengangkat Tengku Husin sebagai
Sultan Singapura. Untuk melantik Tengku Husin sebagai Sultan, mereka berusaha
untuk mendapatkan Regalia Kerajan Riau yang ada ditangan Engku Puteri, karena
mereka tahu Regalia itu masih tetap ditangan Engku Puteri, dan belum direbut
oleh lawan politik mereka, Belanda yang saat itu menguasai Riau Lingga dan
sekitamya. Mereka menyuruh Tengku Husin membujuk Engku Puteri agar Regalia itu
diserahkan kepadanya, karena dia akan dijadikan Inggris sebagai Sultan di
Singapura. Mereka begitu yakin akan memperoleh benda pusaka itu, karena mereka
tahu betapa sayangnya Engku Puteri kepada Tengku Husin yang dulu dibelanya
supaya menjadi Sultan Riau Lingga. Tapi, Engku Puteri temyata menolak, karena
menganggap tindakan anak tiri kesayangannyan itu, justru melanggar adat dan
akan memecah belah kerajaan Riau. Raja Hamidah begitu kecewa atas prilaku anak
tirinya itu. Karena Tengku Husin gagal membujuk ibu tirinya, lalu mereka
mencoba menyuap Engku Puteri dengan menawarkan sejumlah uang, sekitar 50.000
ringgit Sepanyol, untuk menyerahkan Regalia itu. Engku Puteri tetap menolak,
dan merasa sangat terhina oleh tawaran uang suap itu. Dia menganggap sikap
arogan Raffles dan Farquhar itu sebagai tindakan penjajahan dan mau meramnpas
kedaulatan Riau melalaui penguasaan Regalia kerajaan. Akhimya, karena gagal
memiliki Regalia itu, dan agar pelantikan Tengku Husin tetap bermakna secara
adat, mereka sengaja mengantit (mencopot) perabung istana Engku Puteri di
Penyengat, dan dibawa ke Singapura, dan di jadikan simbol pelantikan. Tengku
Husin akhimya dilantik sebagai sultan Singapura oleh Inggris (Februari 1819)
dengan gelar Sultan Husin Mauhammadsyah, dan sejak itu Kerajaan Riau Lingga
yang kekuasaannya termasuk Johor, Pahang, dan Singapura pecah dua. Riau Lingga
dibawah Sultan Abdurrahman, dan Singapura, Johor dan Pahang dibawah Sultan
Husinsyah. Pemisahan itu menjadi lebih nyata sejak Traktat London, tahun 1824.
Kedua, ketika Belanda yang sudah bercokol kembali di Riau Lingga setelah tahun
1815 (perjanjian Wina) dan berbagi wilayah penjajahan dengan Inggris, mulai
ikut cmpur dan membantu Sultan Abdurrahman untuk memiliki Regalia itu. Karena
sejak dilantik menjadi Sultan Riau Lingga (1812 ), Sultan Abdurrahman tetap
belum merasa sebagai Sultan, karena Regalia kerajaan itu belum dimilikinya.
Karena itu, dia sempat merajuk dan meninggalkan Riau menuju Pahang, 1822, dan
mengancam tak akan kembali ke Lingga sebelum Regalia itu dimilikinya. Meskipun
dia dan Raja Djaafar dengan kekuasaannya bisa saja merampas Regalia itu dari
tangan Engku Puteri yang tidak memiliki kekuasaan angkatan perang, serdadu dan
senjata, namun mereka tetap tidak mau menggunakan kekerasan, dan merasa sangat
kualat kalau sampai melakukan kekerasan. Regalia yang sakral dan sakti itu,
akan kehilangan kuasa dan kesaksaralannya jika diambil dengan paksa, apalagi
dengan darah. Karena itu, awal tahun 1822, setelah gagal membujuk Engku Puteri
untuk menyerahkan secara sukarela regalia itu, Sultan dan Yang Dipertuan Muda,
lalu mengirim utusan kepada Guibenur Jendral Belanda Van der Capellen di
Batavia (utusan itu dipimpin oleh Raja Ahmad, adik Engku Puteri dan orang
kepercayaan Raja Djaafar dan pelobi ulung, Sayed Zein al Qudsi ). Van der
Capellen, lalu menugaskan Gubernur Belanda di Malaka, Timmermann Tyssen agar
dapat membantu membujuk Engku Puteri menyerahkan perangkat kebesaran adat itu,
dengan cara mengundang Engku Puteri ke Malaka. Tapi tawaran dan bujukan itu
langsung ditolak mentah-mentah oleh Engku Puteri. Dia menantang Belanda dengan
kata-katanya yang keras, dan memberitahu Belanda bahwa Regalia Kerajaan Riau
Lingga itu adalah kedaulatan sebuah negeri, dan Regalia itu hanya boleh
dimiliki oleh sebuah kekuasan yang benar-benar menjunjung tinggi adat dan
tradisi pemerintahan negeri Melayu. Karena putus asa itulah, Sultan Abdurrahman
merajuk ke Pahang dan mengancam tak mau kembali ke Riau. Belanda yang khawatir
tindakan Sultan Abdurrahman itu akan memberi peluang Inggris menguasai Riau
Lingga, karena mereka sudah merajakan Tengku Husin di Singapura, maka akhirnya
Timmerman Tyssen didampingi Andrian Kock, bersama pasukannya datang dari
Malaka, dan mengepung istana kediaman Engku Puteri di Penyengat. Dibawah
todongan senapan dan ancaman kelewang, Regalia itu dirampas dari tangan Engku
Puteri. Meskipun Engku Puteri diriwayatkan melawan dengan cara menghujat dan
mencaci pelaku tak terpuji para serdadu dan utusan Gubernur Malaka itu. Regelia
itu telah dirampas secara paksa, dan perempuan berhati baja itu, yang ketika
itu berusia hampir setengah abad, memang tak berdaya mempertahankannya. Namun
dia telah pekikkan kepada para serdadu dan Gubemur Malaka itu, bahwa Regalia
yang sakral itu, telah kehilangan kesaktiannya, begitu dia diambil dengan paksa
dan dirampas dari tangan orang yang telah menjaganya sepanjang usia. Regalia
itu, dibawa ke kantor Residen Belanda di Tanjungpinang, dan disimpan disana.
Kemudian, Sultan Abdurrahman pulang dari Pahang, setelah mendengar Regalia itu
sudah jatuh ke tangan Belanda, dan akan diserahkan keapadanya. Dan November
1822, Sultan Abdurrahman pun dikukuhkan sebagai Sultan Riau Lingga dengan Sirih
Besar dan perangkat Regalia lainnya. Dalam catatan sejarah dikatakan,
pelantikan itu berlangsung dengan sangat sumbang, dan menyimpang dari berbagai
adat resam negeri Melayu. Sepuluh tahun kemudian, sultan Abdurrahman meninggal,
setelah setahun sebelumnya didahului kepergian Yang Dipertuan Muda Raja
Djaafar. Setelah kejadian itu, bala dan bencana nyaris terus menerus menimpa
kerajaan Riau Lingga, dan silih berganti kejatuhan terjadi. Mulai dari
kezaliman Belanda memakzulkan Sultan Riau Lingga, seperti Sultan Mahmud
Muzaffarsyah, 1857 (setelah 17 tahun memerintah) dan Sultan Abdurrahman
Muaazzamsyah, 1911, sultan terakhir Riau Lingga. Maka berakhirlah imperium
Melayu ini, dengan sejumlah jejak sejarah yang gemilang, cemerlang, dan juga kepedihan.
V. Perlawan Kultur, adalah juga Kepahlawanan Apa yang dapat dipetik dari
catatan-catatan singkat diatas tadi ? Pertama, kepahlawanan itu bukan hanya
ditandai dengan perjuangan melawan penjajahan dan penindasan dengan bedil dan
meriam. Bukan hanya persimbahan darah dengan kematian yang mengerikan. Tetapi
juga perlawanan dengan budaya, perjuangan dengan kata-kata, dengan ketegaran
hati, dan sikap tidak menyerah dalam mempertahankan kedaulatan dan harkat
negeri. Perlawanan yang dilakukan Engku Puteri dalam mempertahankan Regalia
Kerajan Riau Lingga itu, adalah perlawasan terhadap penjajahan dan penindasan
yang ingin merampas kedaulatan Riau Lingga melalui perampadan terhadap simbol
kedaulatan kerajaan Riau Lingga. Perlawanan menentang sikap zalim dan kejam
para penjajah dalam menindas dan merendahkan harkat dan martabat suatu negeri,
sebuah bangsa tang bernama Melayu. Sebuah rumpun bangsa, sebuah negeri, sebuah
tradisi yang ratusan tahun sudah tegak dan berperan membangun rantau di
nusantara ini. Kedua, Engku Puteri tidak menembakkan meriam, tidak mengangkat
kelewang, tidak seperti ayahandanya Raja Haji Fisabilillah. Tapi dia melawan
dengan keteguhan hati, kekuatan jiwa. Dia melakukan pemberontakan secara
kultural terhadap kekuasaaan asing yang ingin menghancurkan kebudayaan sebuah
negeri. Perlawanan budaya ini juga pemah dilakukan tahun 1902 dan 1903, ketika
Sultan Abdurrahman Muazzamsyah (1885-1911) memerintahkan agar bendera Belanda
tidak dipasang di Kapal kebesarannya, dan tanggal 1 Januan1903, dia memerintahkan
pembesarnya agar memasang bendera Kerajaan Riau Lingga diatas bendera Belanda
di pulau Pmyengat Peristiwa ini telah menimbulkan kemarahan Residen Belanda,
dan menuduh Sultan Abdurrahman Muazamsyah telah membangkang dan memberontak.
Sebuah pemberontakan kultural, yang jauh lebih tajam dan keras dampaknya dari
pada perlawan bersenjata. Lalu, pahlawankah Engku Puteri? Berarti besarkah
perlawanannya terhadap para penindas itu demi menyelamatkan Regalia yang
menjadi simbol kedaulatan kerajaan Riau Lingga itu? Tak sebandingkah perjuangan
dan ketegaran sikap perlawanannya itu dengan seribu meriam, seribu kapal
perang, dan beribu mayat yang terbaring tewas? Tidak cukup pentingkah
perlawanan seribu kata sang perempaun perkasa itu terhadap perjalanan sejarah
bangsa ini? Seminar inilah yang akan menilai dan menjawabnya. Daftar
Bacaan : Abdullah Abdulkadir Munsyi ( Hamzah Hamdani, ed), Hikayat Abdulah, PTS
Publications & Distributions SDN BHD, Selangor ( Malaysia ), 2007 Aswandi
Syahri, Temenggung Abdul Jamal & Sejarah Temenggung Riau-Johor di Pulau
Bulang 1722-1824, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan, Kota Batam, 2007 Hasan
Junus, Engku Puteri Raja Hamidah, Pemegang Regalia Kerajaan, Unri Press,
Pekanbaru,Riau, 2002 Hasan Junus, Karena Emas di Bunga Lautan, Unri Press,
Pekanbaru, Riau, 2002 Hasan Junus, Raja Ali Haji, Sasrawan di Gerbang Abad XX,
Unri Press, Pekanbaru,2002 Mukhtar Lutfi, dkk, Sejarah Riau, Pemda Riau, 1977.
PC.R.Boxer, Yan Kompeni, Sejarah VOC dalam Perang dan Damai, Penerbit Sinar
Harapan, Jakarta, 1983. Raja Haji Ahmad dan Raja Ali Haji (Verginia Matheson,
ed), Tuhfat Al Nafis, Fajar Bakti SDN.BHD, Kuala Lumpur. Suwardi Ms. dkk,
Sejarah Perjuangan Raja Haji Fisabilillah, Pemda Riau. 1989 Tun Sri Lanang
(editor WG Shellabear), Sejarah Melayu, Fajar Bakti SDN.BHD, Kuala Lumpur,
1981.