marquee

DON'T BE A SHEEP IN A WORLD FULL OF WOLVES

Sabtu, 11 Maret 2017

Biografi Tuanku Tambusai Pahlawan dari Riau

sumber : https://www.pahlawanindonesia.com/biografi-tuanku-tambusai/


Biografi Tuanku Tambusai



Nama kecil Tuanku Tambusai adalah Muhammad Saleh. Beliau anak pemuka agama di Kerajaan Tambusai dan teman perjuangan Tuanku Imam Bonjol. Hal ini dibuktikan dengan kontribusinya membantu Imam Bonjol dalam Perang Paderi melawan Belanda di bagian Utara Sumatera Barat. Dalam kurun waktu 15 tahun, Tuanku Tambusai cukup merepotkan pasukan Belanda sehingga harus meminta bantuan pasukan dari Batavia. Berkat kecerdikannya, benteng Belanda Fort Amerongen dapat dihancurkan. Selain itu, beliau juga sering menyerang Pos militer Belanda di Tapanuli. Pada tahun 1835, beliau dan pasukannya berhasil mengepung Belanda di Rao dan Lubuk Sikaping.
Belanda memandang bahwa Tuanku Tambusai berperan penting dalam perlawanan yang terjadi. Karena merasa terancam, Belanda menyerang Dalu-Dalu, pusat pertahanan Tuanku Tambusai. Namun, usaha pasukan Belanda baru berhasil pada serangan yang kedua, yaitu pada tanggal 28 Desember 1838. Tuanku Tambusai akhirnya menyelamatkan diri ke Malaysia dan meninggal dunia pada usia 98 tahun. Makamnya berada di Rasah, Negeri Sam bilan, Malaysia.
  • Tempat/Tgl. Lahir : Riau, 5 November 1784
  • Tempat/Tgl. Wafat : Malaysia, 12 November 1882
  • SK Presiden : Keppres No. 071/TK/1995, Tgl. 7 Agustus 1995
  • Gelar : Pahlawan Nasional
Oleh Belanda, beliau diberi gelar “ De Padrische Tijger Van Rokan” yang berarti Harimau Paderi dari Rokan. Gelar ini diberikan karena Belanda mengakui kehebatan Tuanku Tambusai dalam memimpin pasukannya

BIOGRAFI PAHLAWAN DARI RIAU SYARIF KASIM ABDUL JALIL SAIFUDDIN

BIOGRAFI PAHLAWAN DARI RIAU SYARIF KASIM ABDUL JALIL SAIFUDDIN





Berikut adalah Biografi tentang Syarif Kasim Abdul Jalil Saifuddin Dari Riau

Yang Dipertuan Besar Syarif Kasim Abdul Jalil Saifuddin atau Sultan Syarif Kasim II adalah sultan ke-12 (sultan terakhir) Kesultanan Siak. Syarif merupakan anak dari Sultan Syarif Hasyim I yang merupakan sultan ke 11 Kerajaan Siak hasil pernikahan dengan permaisuri Tengku Yuk. Syarif Kasim lahir di Siak Sri Indrapura, Riau, 1 Desember 1893 dan meninggal di Rumbai, Pekanbaru, Riau, 23 April 1968 pada umur 74 tahun.

Ia dinobatkan sebagai sultan pada umur 16 tahun menggantikan ayahnya Sultan Syarif Hasyim. Sultan Syarif Kasim II merupakan seorang pendukung perjuangan kemerdekaan Indonesia. Tidak lama setelah proklamasi dia menyatakan Kesultanan Siak sebagai bagian wilayah Indonesia, dan dia menyumbang harta kekayaannya sejumlah 13 juta gulden untuk pemerintah republik (setara dengan 151 juta gulden atau € 69 juta Euro pada tahun 2011). Bersama Sultan Serdang dia juga berusaha membujuk raja-raja di Sumatera Timur lainnya untuk turut memihak republik.

Sultan Syarif Kasim II dilahirkan di Siak pada tanggal 1 Desember 1893. Setelah ayahnya, Sultan Assyaidin Hasyim I Abdul Jalil Syaifuddin wafat pada 1908, Syarif Kasim II dinobatkan sebagai sultan ketika usianya masih 16 tahun.

Karena belum cukup umur dan tengah menempuh pendidikan di Batavia, maka Syarif Kasim II dinobatkan sebagai Sultan Kerajaan Siak Indrapura pada 13 Maret 1915 dengan gelar Sultan Assyaidis Syarif Kasim Sani Abdul Jalil Syaifuddin.

Di bawah kepemimpinan Sultan Syarif Kasim II, Siak menjadi ancaman bagi Pemerintah Hindia Belanda. Soalnya, dia secara terang-terangan menunjukkan penentangannya terhadap penjajahan.

Dengan lantangnya, Syarif Kasim II menolak Sri Ratu Belanda sebagai pemimpin tertinggi para raja di kepulauan Nusantara, termasuk Siak.

Sultan yang amat menyadari pentingnya pendidikan sebagai tonggak bagi perubahan suatu kaum, mencoba mencerdaskan rakyatnya dengan mendirikan sekolah-sekolah di Siak. Putra-putri Siak yang cerdas dan berprestasi, mendapat beasiswa untuk menempuh pendidikan ke Medan dan Batavia.

Sultan Syarif Kasim II dihormati orang tidak hanya karena kedudukan sebagai raja, tetapi karena satunya kata dengan perbuatan. Beliau tidak hanya mendukung NKRI dengan maklumat dan pernyataan politik saja, tetapi juga dengan menyumbangkan harta miliknya dalam jumlah sangat besar kepada negara.

Dia tidak hanya menyayangi rakyatnya dengan kata dan ungkapan, tetapi juga dengan mencerdaskannya lewat penyediaan sekolah. Syarif mendukung perjuangan lewat seruan di istana, tapi juga hadir dalam kancah perjuangan dengan bantuan yang konkrit.

Pada saat peringatan hari kematiannya atau Haul ke 119, Sultan Syarif Kasim II mendapatkan gelar pahlawan nasional.

Penetapannya tanggal 6 November 1998, melalui keputusan presiden nomor 109/TK/1998, yang di tanda tangani presiden BJ Habibie, Sultan Syarif Kasim II juga mendapat tanda kehormatan bintang Mahaptra Adipradana.

Untuk mengenang jasa jasanya, Pemerintah Provinsi Riau mengabadikan namanya pada Bandara Internasional di Pekanbaru dengan nama Sultan Syarif Kasim II yang semula bernama Bandar Udara Simpang Tiga.

Bandara Simpang tiga ini pertama kali sultan Syarif Kasim melakukan pendaratan perdana dan meresmikannya pada tahun 1943 bersama dengan Permaisuri Tengku Agung Sultanah Latifah dan pembesar pemerintah Belanda


Semoga Dapat bermanfaat serta menambah pengetahuan anda semua
Sampai Jumpa Pada Artikel Selanjutnya

PAHLAWAN PAHLAWAN RIAU


PAHLAWAN RIAU

Nama nama pahlawan berikut ini saya rangkum berdasarkan dari daerah kelahiran dengan maksud tujuan untuk memberikan motivasi untuk generasi muda saat ini agar dapat mencontoh pahlawan-pahlawan dari daerahnya yang mempunyai semangat didalam memperjuangkan daerahnya sampai tingkat nasional bahkan dalam percaturan tingkat internasional. dan juga dipaparkan sekelumit biografi hidup sampai wafatnya. Dan Surat Keputusan dari Negara untuk gelar pahlawan Nasional :


1.Tuanku Tambusai



Tuanku Haji Muhammad Saleh
Lahir di : Dalu-dalu,Nagari Tambusai,
Rokan hulu Riau,5 November 1784
Wafat di : Seremban,Negeri Sembilan Malaysia,
12 November 1882
  
Beliau adalah Pemimpin pasukan Dalu-dalu, Lubuk Sikaping,Padanglawas, Angkola, Mandailing dan Natal yang berperang melawan Pasukan Kolonial Belanda. Beliau bersama-sama dengan Tuanku Imam Bonjol dalam perang Padri dan Beliau terkenal dengan Julukan  "De Padrische Tijger van Rokan" (Harimau Paderi dari Rokan).Dan juga terkenal sebagai Penyebar Agama Islam

SK Pres : 071 /TK/1995 bertanggal 7 - 8 - 1995

Dimakamkan :
Seremban,
Negeri Sembilan,
Malaysia 
Berusia  : 98 tahun

2. Raja H. Fisabilillah



(Pangeran Sutawijaya, Panembahan Senopati)
Usia saat meninggal : 59 tahun 
Lahir  di : Kota lama, Ulu sungai Riau, tahun : 1725
Wafat di: Teluk Ketapang Melaka, 18 Juni 1784

Beliau adalah Seorang Raja (Yang dipertuan Muda) Kerajaan Melayu Riau-Lingga-Johor-Pahang IV

SK Press :072/TK/1997 bertanggal 11-8-1997

Dimakamkan di : Pulau Penyengat, Indera sakti,tanjung Pinang



3. SARIF KASIM II




lahir di Siak,Sri Indrapura
Riau,1 Desember 1893

Sultan Asyaidis Syarif Kasim Sani Abdul Jalil Syarifuddin

Wafat di : Rumbai,Pekanbaru,,23 April 1968 
Lokasi Makam : Siak Sri Indrapura, Kabupaten Siak, Riau
Beliau adalah Sultan ke 12 di Kesultanan Siak Sri Indrapura. Beliau adalah salah seorang yang mendukung Perjuangan Kemerdekaan Indonesia dan Mendorong raja-raja yang ada di Sumatera Timur untuk mendukung dan mengintegrasikan diri dengan Republik Indonesia. Dan beliau menyumbang harta kekayaannya sejumlah 13 juta gulden untuk Pemerintahan Republik Indonesia,setara dengan  214,5 juta gulden (2014) atau 120,1 juta USD atau Rp 1,47 trilyun.  
SK Pres : 109/TK/1998 bertanggal 6-11-1998



4. Raja Ali Haji



Lahir : 1808   di Selangor 
Wafat : 1873   di Pulau Penyengat,Kepulauan Riau, Indonesia

SK Pres :089/TK/TH 2004 bertanggal 5-11-2004
(kepulauan Riau)

(Raja Ali Haji Bin Raja Haji Ahmad)
Lokasi Makam: Pulau Penyengat, Kota Tanjung Pinang 
Beliau adalah seorang Sejarahwan, Pujangga, dan Penulis buku dan Beliau adalah Pencatat pertama dasar-dasar tata bahasa Melayu, kelak dalam Kongres Pemuda Indonesia 28 Oktober 1928 ditetapkan sebagai Bahasa Indonesia
Karya terkenal
Puisi 
Gurindam Dua Belas (1847)
Buku 
Tuhfat al-Nafis (Bingkisan Berharga) (1860)
Silsilah Melayu dan Bugis (1865)
Karya lain
  Bustan al-Kathibin (1857)
Kitab Pengetahuan Bahasa (Tidak selesai) (1850-an)
Intizam Waza'if al-Malik (1857)
Thamarat al-Mahammah (1857)


Pahlawan Riau yang Terlupakan

Para Pahlawan Melayu Riau yang Terlupakan  
Tokoh pahlawan Melayu Riau sebenarnya ada banyak. Khusus untuk yang mendapatkan gelar pahlawan nasional sendiri ada dua, yakni Sultan Syarif Qasim II yang berasal dari Siak Sri Indrapura dan Tuanku Tambusai yang berasal dari Rokan Hulu.

Adapun saat ini banyak dari kita yang melupakan para pahlawan Melayu Riau yang tak kalah heroiknya dibandingkan Sultan Syarif Qasim II dan Tuanku Tambusai.
Mereka adalah Hang Tuah, Tengku Sulung dari Reteh, Indragiri Hilir, Raja Ali Haji ‘Gurindam 12’ dari Kepulauan Riau, Raja Haji Fisabilillah dari Dabo, Singkep, Lingga, Datuk Tabano dari Kampar dan masih banyak lagi.
HANG TUAH

Hang Tuah adalah seseorang pahlawan serta tokoh legendaris Melayu pada masa pemerintahan Kesultanan Malaka abad ke-15. Ia dikenal sebagai seorang pelaut miskin dengan pangkat laksamana dan juga petarung yang hebat, baik di laut maupun di daratan.
Hang Tuah bersama dengan rekan seperjuangan, Hang Jebat, Hang Nadim, Hang Kasturi, Hang Lekir, dan Hang Lekiu berhasil membunuh para bandit dan dua orang yang berjaya menghancurkan desa dengan amarahnya.
Karena kehebatannya tersebut, Bendahara (Perdana Menteri, red) dari Melaka mengambil mereka berempat untuk bekerja di istana.
Hang Tuah juga terkenal karena berhasil membunuh Taming Sari, seorang jawara yang jago berkelahi, kebal senjata dan dapat menghilang. Ia berasal dari pemerintahan Kerajaan Majapahit.
Setelah membunuh Taming Sari, lalu Hang Tuah mengambil kerisnya dan diberi nama Taming Sari. Keris tersebut diceritakan dapat membuat pemiliknya memiliki kesaktian menjadi hilang.
TENGKU SULUNG

Merupakan seorang pejuang kemerdekaan yang melawanan kolonial Belanda di daerah Reteh, Sungai Batang. Ia diperkirakan lahir di Lingga, Kepulauan Riau.
Sejak Kecil, dididik dengan ajaran Islam yang ketat. Karena itu membuatnya tidak suka dengan Belanda dan tidak mau bekerjasama dengan Belanda dalam bentuk apapun.
Tengku Sulung menjadi Panglima Besar Reteh setelah Sultan Muhammad, Sultan Lingga yang berkuasa di Reteh. Kemudian ia membangun Benteng yang kelak ditandai dengan adanya Desa Benteng, Sungai Batang, Indragiri Hilir di Hulu Sungai Batang.
Benteng tersebut menjadi pertahanan Tengku Sulung bersama pasukannya dalam melawan Belanda. Akhirnya perjuangan Tengku Sulung dan pasukannya berhenti setelah Belanda membawa Haji Muhammad Thaha, juru tulis Tengku Sulung yang telah ditangkap Belanda di Kotabaru.
Ia diultimatum oleh Residen Belanda agar menyerah kepada Komandan Ekspedisi. Pada penyerangan 7 November 1858 yang banyak menewaskan rakyat Reteh, Tengku Sulung juga ikut tertembak di leher oleh pasukan Belanda.
RAJA HAJI FISABILILLAH

Raja Haji Fisabilillah dikenal sebagai salah satu tokoh pahlawan yang diabadikan menjadi nama bandar udara di Tanjung Pinang, yakni Bandar Udara Internasional Raja Haji Fisabilillah.
Ia lahir di Kota Lama, Ulusungai, Riau, pada tahun 1725 dan wafat di Ketapang, 18 Juni 1784. Beliau dimakamkan di Pulau Penyengat, Indera Sakti, Tanjung Pinang, Provinsi Kepulauan Riau.
Selain melawan pemerintahan Belanda, Raja Haji Fisabilillah juga berhasil membangun pulau Biram Dewa di sungai Riau Lama. Ia dijuluki sebagai Pangeran Sutawijaya (Panembahan Senopati) di Jambi, karena keberaniannya.
RAJA ALI HAJI
Raja Ali Haji bin Raja Haji Ahmad atau yang lebih dikenal dengan nama penanya, yakni Raja Ali Haji, merupakan seorang ulama, sejarawan, dan pujangga abad ke-19 keturunan Bugis dan Melayu.
Raja Ali Haji lahir di Selangor, Malaysia, tahun 1808 dan meninggal di Pulau Penyengat, Kepulauan Riau, tahun 1873. Ia merupakan cucu dari Raja Haji Fisabilillah, Yang Dipertuan Muda IV dari Kesultanan Lingga.
Raja Ali Haji dikenal sebagai pencatat pertama dasar-dasar tata bahasa Melayu lewat buku Pedoman Bahasa yang menjadi standar bahasa Melayu. Kemudian standar bahasa Melayu itulah yang ditetapkan sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia, dalam Kongres Pemuda Indonesia 28 Oktober 1928.
Adapun mahakaryanya, Gurindam Dua Belas (1847), menjadi pembaru arus sastra pada zamannya. Selain itu, Kitab Pengetahuan Bahasa, Kamus Loghat Melayu-Johor-Pahang-Riau-Lingga penggal yang pertama, merupakan kamus ekabahasa pertama di Nusantara.
Syair Siti Shianah, Suluh Pegawai, Hukum Nikah, dan Sultan Abdul Muluk, Tuhfat al-Nafis (“Bingkisan Berharga” tentang sejarah Melayu), Mukaddimah fi Intizam (hukum dan politik), merupakan hasil karyanya.
Atas hasil-hasil karyanya tersebut, Raja Ali Haji juga patut diangkat jasanya dalam penulisan sejarah Melayu. Tak hanya aktif menulis, ia juga aktif sebagai penasihat kerajaan.
Pada 5 November 2004 yang lalu, Raja Ali Haji ditetapkan oleh Pemerintah Republik Indonesia menjadi pahlawan nasional.
DATUK TABANO
Datuk Tabano adalah tokoh pejuang dari Kampar, yang nama kecilnya Gandulo. Ia dilahirkan tahun 1869 di kampung Uwai di Kenegrian daerah Limo Koto Kampar.
Beliau menjadi Dubalang dari Datuk Tuo dan diberi gelar Datuk Tabano oleh Ninik Mamak suku Melayu Datuk Tua, hasil kesepakatan kaum persukuan Kampar.
Datuk Tabano memegang kekuasaan pada saat negeri sedang carut marut, dengan pusat pertahanan berada di tepi sungai Kampar, Batu Dinding Rantau Berangin. Sedangkan pelocuan tonggak di daerah pulau Ompek Kuok.
Berbekal ilmu kebal diri, ia mampu mempertahankan Limo Koto dari serbuan Belanda yang datang dari hulu.
Pada pertengahan tahun 1895, terjadi perang antara Belanda dengan rakyat Limo Koto. Perahu pasukan Belanda tenggelam setelah dihajar pasukan Tabano, saat memasuki kandang perairan.

Pejuang Tanah Melayu, Engku Puteri Hamidah




Pejuang Tanah Melayu, Engku Puteri Hamidah






Perempuan Pejuang Tanah Melayu, Engku Puteri Hamidah "Melawan dengan Kata-Kata" Oleh : RIDA K. LIAMSI I. Pendahuluan. Di panggung sejarah Kemaharajan Melayu yang jatuh-bangun selama hampir 500 tahun, sejak pertengahan abad ke-15 sampai awal abad ke-20, mulai dari era Malaka sampai ke era Lingga, memang tercatat sejumlah nama perempuan yang perkasa, berhati baja, dan telah berjuang dengan segala daya mereka, baik dalam membela negeri, kekuasaan, maupun martabat bangsa dan kaumnya. Ada yang berjuang dengan menghunus senjata, berperang dari satu laut ke laut lain, ada yang menggunakan segenap kekuatan pesona dan ketegarannya untuk melawan kezaliman para penguasa, ada yang berjuang dengan segenap daya menegakkan marwah, harkat dan martabat negeri dan bangsanya. Ada nama seperti Tun Fatimah, permaisuri Sultan Mahmud I Malaka, puteri Tun Mutahir, sang Bendahara. Dia bertempur bersama Sultan Mahmud menghadapi serangan Portugis (1511), mulai dari Malaka, terus ke Bintan, dan akhimya mundur ke Kampar, di mana Sultan Mahmud mangkat dan Malaka takluk. Meskipun Tun Fatimah tidak mencintai suaminya, sang Sultan, tapi dia menyabung nyawa, demi negeri bernama Malaka. Ada nama sepertu Ratu Emas, isteri Raja Haji Fisabilillah. Puteri Sultan Jambi ini berjuang melawan kompeni Belanda dalam Perang Riau (1782-1784). Bersama suaminya Yang Dipertuan Muda IV Raja Haji Fisabilillah, mereka menyerang kompeni di Malaka. Saat Raja Haji tewas dan jenazahnya dilarikan Belanda dan dikuburkan secara diam-diam di kaki benteng Malaka, Ratu Mas berjuang untuk merebutnya kembali dengan darah dan airmata, meskipun dia gagal. Ada Tun Teja, wanita jelita tetapi berhati baja. Dia melawan kezaliman Sultan Malaka, suaminya, untuk mempertahankan hak dan harkat perempuan sebagai permaisuri, sebagai ratu penjaga negeri. Dia berjuang menyelamatkan negeri Pahang, tempat dia dibesarkan dari rampasan Sultan Malaka. Juga Puteri Retno Dumilah, puteri Raja Majapahit, yang mengembara ke negeri Malaka, karena cintanya kepada Laksamana Hang Tuah, namun dia dipaksa oleh Sultan Malaka untuk dijadikan permaisurinya. Dia lebih rela menjadi Pen Asmara dan rnenghuni Gunung Ledang di darat Malaka, ketimbang menghianati cinta dan hati nuraninya. Dan Tentu saja ada Engku Puteri, permaisuri Sultan Mahmud III, Sultan Riau-Lingga (1762-1812), yang melawan semua tekanan kekuasaan, baik kerajaan Lingga, maupun tekanan Inggris dan Belanda, untuk mempertahankan hak dan marwah kerajaan, kekuatan adat dan budaya Melayu, meski yang ada padanya hanya keyakinan, ketegapan hati, dan semangat baja. Dia berjuang dengan kekuatan hujjah, hukum, norma, adat dan kata-kata bijak lainnya, melawan senapan, kelewang, suap dan meriam kekuasaan. Masih banyak nama lain, seperti Tengku Embung Fatimah, Tengku Tengah, dll. sosok yang begitu tegar, teguh, dan juga ambisius. Cerita keperkasaan para perempuan itu, memang ada yang tercatat sebagai sebuah jejak sejarah, ada yang masih sebuah legenda, tetapi menyebar dalam cerita dan riwayat keperkasaan dari mulut ke mulut, dari kronik dan cerita rakyat. Tapi kertas kerja ini, hanya ingin membicarakan tetang Engku Puteri, sosok perkasa yang ada dan tercatat dalam sejarah Riau Lingga, meski dengan bahan-bahan yang masih terbatas dan seadanya. Kertas kerja ini ingin mengetengahkan bahwa perlawanan dengan kata-kata, dengan keteguhan sikap, dengan semangat menegakkan harkat, martabat dan harga diri suatu bangsa, adalah juga perlawanan yang tidak kalah gagah beraninya dibandingkan dengan perjuangan dengan keris, kelewang, senapan, meriam dan kapal perang. Perlawanan budaya, dan pemberontakan kultural, adalah perjuangan dan perlawanan yang tak bisa dilihat dengan sebelah mata saja dari rangkaian perlawanan menentang penindasan dan perampasan hak-hak dan keadilan., penjajahan, dan tipu muslihat politik, sepanjang sejarah jatuh bangunnya nusantara ini. II. Siapa Engku Puteri ? Nama perempuan ini ketika dilahirkan adalah Raja Hamidah. Anak perempuan pertama Raja Haji, Yang Dipertuan Muda Riau Lingga IV ( 1778-1874 ). Ibunya, adalah Raja Perak, puteri Daeng Kamboja, Yang Dipertuan Muda Riau Lingga III (1748 -1777). Daeng Kamboja, adalah anak Daeng Parani, saudara tertua dari lima bersaudara para pendekar Bugis Luwu yang datang merantau ke semenanjung (Daeng Prerani, Daeng Marewa, Daeng Celak, Daeng Manambun, Daeng Kemasi ). Raja Ali Haji sendiri adalah anak Daeng Celak. Jadi mereka masih bersepupu. Begitulah perkawinan para keturunan bangsawan Bugis-Melayu di era kerajaan Johor-Riau-Lingga itu (1722-1912) diatur dan direkayasa, untuk menjaga panca kaki garis keturunan dan kekuasaan. Raja Hamidah adalah keturunan Melayu Bugis, generasi kedua. Generasi pertama adalah ayahnya, Raja Haji (anak Daeng Celak dengan Tengku Mandak). Karena itu mereka memakai gelar Raja. Tapi ibunya, Raja Perak itu (anak Daeng Kamboja), adalah isteri kedua dari Raja Haji. Isteri pertamanya adalah Tengku Lebar, anak Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah, Sultan Johor-Riau yang I (1722-1760). Dan perkawinannya yang pertama ini, lahir Raja Djaafar, yang kelak, menjadi Yang Dipertuan Muda Riau Lingga ke VI (1805-1831). Saya memang belum menemukan catatan pasti, bila Raja Hamidah dilahirkan. Tapi dengan mencermati beberapa catatan lain dalam sejarah jatuh bangun kerajaan Riau Lingga, diperkirakan Raja Hamidah lahir sekitar tahun 1774. Ini dikaitkan dengan catatan kepergiannya bersama abang sepupunya Raja Ali bin Daeng Kamboja yang kelak menjadi Yang Dipertuan Muda V (1803-1805), saat selesai perang Riau, 1784, dimana mereka menyingkir ke Siantan dan Sukadana (Kalbar). Saat itu dikatakan bahwa dia sebagai gadis sunti (mungkin 9 atau 10 tahun), dan abangnya Raja Djaafar diperkirakan saat itu berusia 18 tahun, karena ketika dilantik menjadi Yang Diprtuan Muda, usianya diperkirakan 40 tahun. Raja Hamidah dilahirkan di Ulu Riau, pusat pemerintahan kerajaan Riau Lingga, setelah pusal kerajaan pindah dari Johor. Ketika dia dilahirkan, ayahnya, Raja Haji masih bestatus Kelana Putera Jaya, yaitu jabatan yang diberikan kepada calon Yang Dipertuan Muda. Tugasnya menjaga teluk rantau, dan memerangi musuh yang datang. Raja Hamidah mungkin dilahirkan di istana Kota Piring, karena ayahnya sudah membangun istana megah itu, jauh sebelum dia menjadi Yang Dipertuan Muda. Mungkin juga di kawasan istana Yang Dipertuan Besar di Ulu Riau, karena di kawasan itu dahulunya baik Yang Dipertuan Besar (sultan), maupun Yang Dipertuan Muda, menetap bersama. Catatan yang ada menunjukkan hanya adiknya, Raja Ahmad, yang dipastikan lahir di Istana Kota Piring itu, 1778. Raja Hamidah masih mempunyai beberapa saudara yang lain. Yang seibu dan seayah, adalah Raja Siti. Seayah berlainan ibu, antara lain Raja Djafaar, Raja Idris, dan tentu saja Raja Ahmad, si bungsu. Sebagai puteri seorang Panglima perang, Kelana Jaaya Putera, Yang Dipertuan Muda, maka Raja Hamidah tentulah dibesarkan dalam tradisi istana, tradisi kebangsawanan, tradisi perang dan militerisasi. Tetapi, Raja Haji juga seorang yang sangat taat beragama, menghargai para ulama, dan ke istannya di Kota Piring, dia telah mendatangkan banyak guru dan ulama, dan mereka mengajar ilmu-ilmu, baik agama Islam maupun ilmu pengetahuan lainnya, termasuk baca tulis huruf Jawi, kepada keluarga istana, dan para pembesar negeri. Kecuali itu, Raja Hamidah pun dibesarkan dalam tradisi adat yang kuat, baik tradisi adat Melayu melalui Ibunya, maupun dari para pemuka adat dari garis Bugis. Tradisi ini tentu ikut membentuk karakter dan pemahaman Raja Hamidah tentang dirinya, posisinya sebagai puteri bangsawan, sebagai ahli waris dari seorang Yang Dipertuan Muda, dan garis keturunan yang unggul, baik dari garis Melayu maupun Bugis. Proses pendidikan di Dalam Besar istana Yang Dipertuan Muda, pengembaraannya di tengah perang bersama abang sepupunya Raja Ali, dan konflik politik yang mewarnai masa mudanya, tentulah akhirnya mewujudkan sosok Raja Hamidah yang anggun, kukuh, beradat istiadat, cerdas, dan berpengetahuan. Memang agak sulit menemukan deskripsi tetang sosok Raja Hamidah sebagai seorang wanita. Kerupawanan, kejelitaan, dan lain-lain tanda-tanda kesempumaan seorang perempuan. Sebagai wanita keturunan campuran Melayu yang jelita, gemulai, dengan Bugis yang tegar, teguh, dan karismatis, tentulah dapat dibayangkan pada sosoknya. Beberapa sumber tertulis, menyebutkan Raja Hamidah sebagai seorang perempuan yang sangat elegan, cerdas dan bijaksana. Wanita anggun dan sangat berwibawa. Raja Hamidah telah masuk ke wilayah kekuasaan dan politik begitu dia dewasa, dan kemudian dipersunting Sultan Mahmud III dan menjadi permaisuri kerajaan Riau Lingga. Saat menikah dengan Sultan Mahmud tahun 1803, Raja Hamidah memang sudah menjadi seorang perempuan yang matang, dan karena itu dinilai sanggup memikul berbagai masalah pelik bagi seorang perempuan istana, baik beban politik maupun tekanan kekuasaan lain dipundaknya, yang dititipkan para pemuka adat dan pembesar negeri, khususnya keturunan Bugis. Usianya yang sekitar 29 tahun, tentulah telah memberikan Raja Hamidah usia yang matang dan bijak, baik sebagai seorang bangsawan dan pihak Bugis, maupun sebagai seorang permaisuri. Dia begitu setia mendampingi sang Sultan sebagai permaisuri yang gahara sampai Sultan Mahmud III mangkat (1812). Bukan hanya sebagai permaisuri, tetapi juga seorang penasehat, pemegang teraju adat dan tradisi, serta menjalankan tugasnya sebagai Pemegang Regalia Kerajaan. Wanita Ranggi, Peri sejarah ini, meninggal 5 Agustus 1844, di istananya, di pulau Penyengat. Jika benar dia lahir sekitar tahun 1774, maka saat meninggal, wanita perkasa dan berhati baja ini, berusia sekitar 70 tahun. Dia memang hidup lebih lama dibanding sang abangnya Raja Djaafar, Yang Dipertuan Muda Riau Lingga VI, yang meninggal tahun 1831, yang saat meninggal diperkirakan berusia 66 tahun. Keduanya meninggal dengan memendam rasa pedih dan kecewa atas takdir politik, meski keduanya merasa, telah mengemban tugas dipundak masing-masing dengan sekuat rasa. Mereka harus memendam luka persaudaraan yang lama dan berdarah. Sepak terjangnya sebagai permaisuri, sebagai ibu suri, sebagai pemegang regalia kerajaan, telah membuat namanya ditulis dan dicatat dalam berbagai buku kronik dan sejarah. Orang mengaguminya sebagai perempuan yang tegar, keras, dan tak kenal menyerah atas prinsip hidup dan amanah yang dilimpahkan kepadanya, dan juga seorang permaisuri yanag kesepian. Raja Hamidah dimakamkan di pulau Penyengat. Kini makamnya yang terawat baik dalam komplek pemakaman para bangsawan kerajaan Melayu Riau Lingga, banyak dikunjungi, terutama para penziarah yang ingin melihat dan mencatat jejak perjuangannya yang menggetarkan itu. III. Apa Perannya dalam Sejarah Riau Lingga ? Peran Raja Hamidah (Engku Puteri) dalam jejak sejarah kerajaan Melayu Riau Lingga dapat dilihat secara terang, setelah dia menikah dengan Sultan Mahmud III. Perkawinannya dengan Sultan Mahmud, memang sebuah perkawinan politik, bukan perkawinan yang bangkit dari bara cinta. Ketika perkawinan itu terjadi, mereka berselisih usia 20 tahun lebih. Sultan Mahmud mendekati umur 50 tahun, dan sudah punya tiga isteri. Yang pertama, Engku Puan, puteri Bendahara Pahang, yang dianggap sebagai permaisuri gahara. Yang kedua, Encik Makoh, keturunan Bugis, dan yang ketiga Encik Manam, keturunan Melayu. Raja Hamidah menerima pernikahan itu dan ikhlas menjadi isteri keempat, dan dia sadar saat menjalani perkawinan itu, paling tidak mengemban tiga tugas berat: Pertama, inilah nikahul siasah (perkawinan politik) untuk meredam konflik politik antara pihak Melayu dan Bugis, akibat perebutan kekuasaan dan jabatan Yang Diprertuan Muda Riau Lingga antara Tengku Muda Muhammad (Putera Temenggung Abdul Jamal) dengan Raja Ali (putera Daeng Kamboja ). Konflik politik yang diwarnai perang saudara ini, berlangsung lebih dari 8 tahun (1795 -1803) dan menelan banyak harta dan nyawa. Tengku Muda Muhammad merasa berhak sebagai Yang Dipertuan Muda, karena dialah yang ditugaskan dan diangkat oleh Sultan Mahmud sebagai Raja Muda (sebutan jabatan itu dari pihak Melayu. Sementara pihak Bugis menyebutnya Yang Dipertuan Muda), setelah Belanda yang menang perang melawan Riau ( 1784 ) sebagaimana isi perjanjian di atas kapal perang Utrecht yang mensyaratkan bahwa jabatan Raja Muda (Yang Dipertuan Muda) tidak boleh diberikan kepada keturunan Bugis. Sedangkan Raja Ali, juga merasa berbak, karena jabatan Yang Dipertuan Muda itu hak keturunan Bugis dan sudah diikrarkan dalam Sumpah Setia Melayu-Bugis dan dia katanya sudah dilantik menjadi Yang Dipertuan Muda Riau Lingga oleh Sultan Ibrahim, Selangor, saudara Raja Haji, setelah Raja Haji tewas di Teluk Ketapang. (Inilah sengketa politik yang unik. Raja Ali, anak Daeng Kamboja, cucu Daeng Perani. Sementara Tengku Muda Muhamamad itu, anak Raja Maimunah dan Raja Maimunah ini, adalah anak Daeng Perani. Jadi yang berkelahi dan berebut kuasa itu, adalah cucu-cucunya Upu Daeng Perani. Satu mewakili dinasty Bugis Luwu, yang satu mewakili dynasti Melayu Johor. Tapi di darah kedua kaum itu sudah bercampur baur. Konflik ini memang benar-benar konflik kepentingan dan nafsu politik mereka). Untuk meredam konflik ini, maka harus ada perdamaian dan penyelesaian politik yang menguntungkan kedua belah pihak. Dan orang dibalik sekenario politik, dan perdamaian ini, adalah Raja Lumu, Sultan Selangor yang disebut Sultan Salahuddin (Anak Daeng Celak, saudara kandung Raja Haji Fisabilillah, ayah saudara sepupu kedua tokoh yang bertikai itu). Raja Lumu ini, dalam perjalanan sejarah Riau Lingga memang menjadi tokoh sentral pihak Bugis, yang sangat disegani dan dihormati para keturunan Bugis, dan tentu saja yang sangat tidak disenangi pihak Melayu, melalui Temenggung Johor, Bendahara Pahang, dan tokoh sentralnya Tun Dalam, Raja Terengganu. Maka lahirlah, apa yang disebut sebagai Perdamaian Kuala Bulang (mengambil nama sebuah pulau besar di sekitar Batam, tempat menetap pihak keturunan Melayu, seperti Temenggung Johor dan Bendahara Pahang ), September 1803. Inti kesepakatan politik itu, antara lain adalah: Sultan Mahmud, sebagai sosok keturunan Melayu yang berkuasa akan mengawini Raja Hamidah (sosok keturunan Bugis, dan penerus Raja Haji Fisabilillah), dengan tujuan meluluhkan perseteruan Melayu dan Bugis. Bukan hanya dalam politik, juga dalam kehidupan sehari-hari. Dalam bayangan mereka, kelak. jika ditakdirkan, putera yang lahir dari perkawinan ini, akan menjadi putera mahkota (Tengku Besar, begitu sebutannya) sebagai calon sultan yang gahara, dan ditubuhnya darah Melayu dan Bugis bersatu, dan akan menjadi keturunan Bugis Melayu pertama di tahta kerajaan Riau Lingga (sebelumnya semua Sultannya punya darah Melayu yang sangat kuat, karena jabatan Sultan itu memang menjadi haknya orang-orang keturunan Melayu ). Itulah beban politik dan sejarah yang diletakkan dibahu perempuan bangsawan yang berusia 29 tahun itu. Sementara itu, untuk mengeleminir konflik lainnya, anak Tengku Muda yang bernama Tengku Buntat (neneknya Raja Maimunah adalah anak Daeng Perani), dikawinkan dengan putera sulung Sultan Mahmud, yang bemama Tengku Husin atau Tengku Long (ibunya Encik Makoh, ketuman Bugis, tetapi bukan permaisuri yang gahara). Inipun sekenario penyelasaian melalui percampuran darah. Kelak, putera Tengku Husin dan Tengku Buntat, diharapkan akan menjadi Sultan Riau Lingga dari campuran darah Bugis Melayu yang sudah sulit dibedakan. Kemudian Raja Ali, mendapat kembali jabatan Yang Dipertuan Muda. Hanya Tengku Muda Muhammad, yang meski anaknya menjadi calon permaisuri kerajaan Riau Lingga, tapi dia menolak jadi Temenggung Johor mengganti ayahnya Temenggung Abdul Jamal yang meninggal. Tengku Muda Muhammad memilih menyingkir ke Temasik dan kemudian meninggal di sana. Jabatan Temenggung, diberikannya kepada anak saudaranya Tun Abdurrahman. Kedua, sebagai puteri bangsawan yang darah Bugisnya lebih besar, dapat diperkirakan, pihak Pembesar Bugis, ingin Raja Hamidah dapat menjaga kepentingan pihak Bugis di puncak kekuasaan. Baik dalam mengatur jabatan, maupun kepentingan ekonomi dan kekuasaan lainnya. Dia diharapkan menjadi kekuatan di belakang layar yang mengatur percaturan kekuaasaan yang menguntungkan pihak Bugis, sampai kepada penetapan siapa pengganti Mahmud kelak sebagai sultan. Karena itu, masuk akallah kalau Tengku Husin, disebut-sebut sebagai pilihan utama untuk dijadikan pengganti Mahmud, jika perkawinan Mahmud dan Raja Hamidah tidak menghasilkan keturunan (malangnya, memang begitulah takdirnya, meskipun menurut satu catatan Raja Hamidah sempat melahirkan seorang puteri, namun meninggal), karena selain darah bugisnya lebih besar, dia juga putera yang sulung. Bukan Tengku Abdurrahman, yang darah Melayunya lebih besar, karena ibunya Encik Mariam adalah keturunan Melayu, dan juga bukan putera dari permaisuri gahara. ltulah beban yang agaknya dipanggul Raja Hamidah, yang setelah menjadi permaisuri, kemudian bergelar Engku Puteri itu. Dalam perjalanan kepermaisuriannya, memang ada beberapa catatan yang menyatakan bahwa Raja Hamidah memang sangat menyayangi dan memanjakan Tengku Husin, anak tirinya itu. Tidaklah jelas, apakah itu kemudian memang perwujudan dari beban politik yang dipikulkan oleh petinggi pihak Bugis kepadanya. Namun, sebuah kenyataan yang juga tercatat dengan baik adalah, temyata Raja Hamidah lebih meletakkan dirinya, bukan sebagai personifikasi kepentingan politik keturunan Bugis semata, tapi benar-benar sebagai seorang isteri, seorang perrnaisuri, tempat Sultan Mahmud meletakkan kasih sayang dan kerinduannya. Kecantikannya, kecerdasannya, keteguhan hati, dan pemahamannya yang luas tentang politik, adat istiadat dan kebiasaan negeri-negeri yang besar (Engkun Puteri banyak belajar dari sepupunya Raja Ibrahim, Sultan Selangor tentang pemerintaan, dan belajar membangun negeri dengan sering berkunjung ke Selangor, Malaka, dll di semenanjung Malaka) membuat pengetahuannya sangat luas, dan arif dalam bersikap. Engku Puteri telah menjadi Think Tanknya Sultan Mahmud. Menjadi penasehat (bukan pembisik), dan pengawal adat istidat dan budaya kerajaan Melayu. Karena itu pulalah agaknya, kemudian Sultan Mahmud, memberi dia tugas menjadi penjaga dan pemegang Regalia Kerajaan (sebuah perangkat sakral kerajaan, tanda dan panji kebesaran, perangkat nobat, Sirih Besar, gendang, nafiri, dll). Perangkat kebesaran ini adalah supremasi tetinggi bagi eksistensi sebuah kekuasaan, sebuah negeri, sebuah kedaulatan tidak akan sah dan berdaulat seorang Sultan, jika pelantikannya tidak menggunakan Regalia ini. Karena itu Pumegang Regalia itu, sekaligus juga adalah penjaga adat istidat, dan tradisi . Di dalam kesatuan antara Regalia dan adat kebesaran budaya kerajaan itu, melekat marwah (kehormatan), harkat dan martabat kerajaan Riau Lingga. Jika rusak dan binasa kedua kekuatan spritual ini, maka hancur dan runtuhlah harkat dan harga diri bangsa itu. Bagi Kerajaan-kerajaan Melayu, sebuah kerajaan boleh saja ditaklukan, direbut, dan dikuasai oleh pihak lain. Raja atau Sultannya bisa saja terusir dan melarikan diri ke kawasan lain, mencari pertindungan. Tetapi, selagi Regalia Kerajaan tidak dirampas, tidak direbut, selagi Regalia sakti dan keramat itu masih dipegang sang Rajanya, maka selagi itulah kedaulatan negeri itu masih tegak. Sultannya tetap punya daulat, dan dia bisa berkerajaan dimana saja, dan dirajakan dimana saja. Karena sukma yang sakti itu, belum ditaklukkan. Karena itulah, siapapun yang memegang dan diberi tugas menjaga Regalia itu, adalah seorang yang kuat dan perkasa. Seorang yang kuasanya jauh diatas kekuasaan lain, termasuk sultannya sendiri. Ketiga, sebagai keponakan Sultan Selangor (Raja Lumu), Raja Hamidah diharapkan menjadi sosok yang menjadi simbol dari eksistensi keturunan Bugis yang ada di Riau, tempat kaumnya berlindung dan hidup terjaga di negeri orang. Ini beban yang tak kurang beratnya. Karena, begitu selesai pesta perkawinannya dengan Sultan Mahmud, maka sang Sultan memaklumkan bahwa dia menganugerahkan Raja Hamidah, sebuah pulau, yaitu pulau Penyengat Inderasaksi, sebagai maskawin dan tempat kediaman, sebagai istana permaisuri. Dengan penganugerahan itu, maka Mahmud juga memaklumkan, bahwa sejak hari itu dia membagi wilayah kuasa ekonomi antara pihak Melayu dan Bugis. Raja Hamidah, dengan para saudara-saudara dari pihak bugis lainnya, akan memiliki pulau penyengat dan kawasan sekitarnya, sebagai "daerah permakanan". Sumber ekonomi, pendapatan, dan biaya hidup mereka, dan pihak Melayu tidak boleh mengganggu gugat. Maka di pulau Penyengat itu pulalah, misalnya, Yang Dipertuan Muda Riau Lingga, sebagai sosok Bugis dan kuasanya, akan beristana dan mengendalikan pemeritahan (urusan pertahanan, ekonomi, politik dan hubungan luar negeri ). Sedangkan Lingga (Daik dan sekitamya) menjadi kawasan "permakanan" pihak Melayu, melalui sosok Tengku Abdurrahman (si Komeng ), putera Sultan Mahmud, dan pihak Bugis tidak boleh mengganggunya (di Singkep ketika itu sudah ditemukan dan diproduksi timah). Beberapa penulis sejarah tentang jatuh-bangunnya keraajaan Melayu Riau Lingga menganggap keputusan Sultan Mahmud membagi wilayah permakanan ini sebagai keputusan politik yang luar biasa dampak dan pengaruhnya dikemudian hari bagi kedua kaum itu dan kerajaan itu sendiri. Engku Puteri memang gagal menjadi permaisuri yang mewariskan putera mahkota dan membangun zuriat dari darahnya untuk menjadi Sultan di puncak kekuasaan Riau Lingga. Tapi, dia berhasil menjadi benteng yang tangguh sebagai pemegang, pemelihara, dan pengawal Kebesaran dan Kedaulatan kerajaan, yang bernama Regalia itu. Dia berhasil menjadi kekuatan yang senantiasa menjaga kesucian Sirih Besar dan perangkat kebesaran dan lambang kekekuasaan itu. sebagai kekuatan suci dan semua yang di bawahnya harus tunduk dan berlutut. Itulah sebab mengapa dia rela berselisih paham, dan nyaris memutus hubungan darah dan persaudaraan dengan abangnya Raja Djaafar, Yang Dipertuan Muda Riau Lingga, ketika Raja Djaafar justru menetapkan Tengku Abdurrahman (Raja Jumat atau si Komeng ) sebagai pengganti Sultan Mahmud yang mangkat, dan bukan memilih putera sulung Sultan, Tengku Husin. Engku puteri menentang pemilihan itu, dan menganggap penetapan Tengku Abdurrahman itu, melanggar adat dan kebiasaan, apalagi ketika itu Bendahara dan Temenggung, dua pejabat teras kerajaan tidak berada di tempat dan belum memberi persetujuan. Raja Djaafar dianggap melanggar tradisi dan menjatuhkan marwah kerajaan Riau Lingga. Karena itu pula, dia tidak mau menyerahkan Regalia kerajaan itu ke tangan Tengku Abdurrahman sebagai simbol pelantikan. Dia membawa pusaka keramat itu ke istananya di Penyengat, dan membiarkan Raja Djaafar melantik Sultan Abdurrahman (1812) tanpa regalia. Membiarkan peristiwa pelantikan itu menjadi sebuah peristiwa yang sumbang dan memalukan. Dan membiarkan Sultan Abdurrahman merasa belumlah sebagai Sultan, dan membiarkan Raja Djaafar sang Yang Diperttuan Muda, berduka dan terluka. Perseteruannya dengan abangnya itu, menjadi konflik baru Bugis Melayu yang formulasinya sudah makin sulit diterjemahkan. Konflik itu tidak lagi konflik darah dan keturunan, tetapi menjadi konflik kepentingan, kekuasaan, dan rasa ketidak puasan lainnya yang rawan untuk ditunggangi oleh tangan-tangan politik yang keji dan jahat. Begitu marahnya Engku Puteri kepada abangnya itu, membuat dia nyaris tidak pernah lagi menjejakkan kaki ke Lingga. Dan Raja Djaafar pun, begitu kecewa pada adiknya, sehingga tidak lagi mau beristana di Penyengat, dan memilih tetap di Daik, Lingga. Perseteruan ini begitu melukakan (meskipun akhirnya Regalia itu berhasil diambil oleh Sultan Abdurranman dengan bantuan Belanda secara paksa, 1821) dan terus berdarah. Hanya, ketika datang kabar Raja Djaafar gering dan hampir naza’, maka Engku Puteri akhirnya pergi juga ke Lingga. Dia memaafkan abangnya, agar abangnya dapat menghadapi maut dengan tenang dan tanpa beban. Raja Djaafar pun demikian, seakan hanya rela meninggalkan dunia fana itu setelah berdamai dengan adiknya (cerita ini dengan bagusnya ditulis oleh Raja Ahmad, adik bungsu mereka dalam Syair: Engku Puteri pergi Ke Lingga). Engku Puteri ingin membawa abangnya yang sedang sakit itu ke Penyengat, dan merawatnya, tetapi abangnya menolak. Akhinya, setelah melihat sakit abangnya berangsur pulih, dia pun kembali ke Penyengat. Tetapi, kesembuhan itu temyata hanya permainan perasaan, untuk menyenangkan hati mereka yang ditinggalkan. Tak lama Raja Djaafar pun rneninggal dengan tenang di Daik. Di kebumikan disana., dan baru beberapa tahun kemudian, jenazahnya di bawa ke Penyengat dan dimakamkan di sana. Dan Engku Puteri, membawa luka itu yang secara tak terasa terus menggerogoti usianya. Kesedihan melihat penderitaan abangnya akibat sengketa itu, membuat Engku Puteri menjadi nelangsa sampai akhir hayatnya. Batinnya bertambah parah, melihat regalia yang sakral itu dirampas oleh kekuasaan asing. Kepedihan itu menjadi luka sejarah. Itulah yang menggoda saya untuk menulis puisi panjang: Dan sejarah pun berdarah.... Sebagai ingatan betapa peristiwa itu menjadi riwayat yang mendukakan. IV. Melawan dengan Kata-Kata Tetapi peran dan eksistensi Engku Puteri sebagai sosok perempaun yang tegar, kukuh, dan berhati baja, dan melawan sekuat tenaga, untuk mempertahankan marwah dan martabat kerajaan Riau Lingga sebagai sebuah negeri yang berdaulat, bukan hanya melawan kesewenangan kekuasan Sultan Riau Lingga Abdurrahman dan Yang Dipertuan Muda Raja Djaafar yang telah melanggar pantang dan menyepelekan adat istiadat, dan tidak menghargai pandapat dan nasehat sang pemegang Regalia. Tetapi, perlawanan yang lebih keras dan perjuangan yang lebih berat, adalah ketika ada kekuatan asing yang ingin merampas Regalia itu, bagi kepentingan kekuasaan dan politik mereka. Ini ditandai dengan dua peristiwa penting, dan sangat historikal: Pertama, ketika Inggeris mulai menjalankan politik kotorya untuk memecah belah kerajaan Riau Lingga. Mereka, memanipulasi perasaan kecewa Tengku Husin yang gagal menjadi Sultan Riau dan Kelompok Temenggung Johor yang merasa telah disingkirkan pihak Bugis, dengan cara mengangkat Tengku Husin sebagai Sultan Singapura. Untuk melantik Tengku Husin sebagai Sultan, mereka berusaha untuk mendapatkan Regalia Kerajan Riau yang ada ditangan Engku Puteri, karena mereka tahu Regalia itu masih tetap ditangan Engku Puteri, dan belum direbut oleh lawan politik mereka, Belanda yang saat itu menguasai Riau Lingga dan sekitamya. Mereka menyuruh Tengku Husin membujuk Engku Puteri agar Regalia itu diserahkan kepadanya, karena dia akan dijadikan Inggris sebagai Sultan di Singapura. Mereka begitu yakin akan memperoleh benda pusaka itu, karena mereka tahu betapa sayangnya Engku Puteri kepada Tengku Husin yang dulu dibelanya supaya menjadi Sultan Riau Lingga. Tapi, Engku Puteri temyata menolak, karena menganggap tindakan anak tiri kesayangannyan itu, justru melanggar adat dan akan memecah belah kerajaan Riau. Raja Hamidah begitu kecewa atas prilaku anak tirinya itu. Karena Tengku Husin gagal membujuk ibu tirinya, lalu mereka mencoba menyuap Engku Puteri dengan menawarkan sejumlah uang, sekitar 50.000 ringgit Sepanyol, untuk menyerahkan Regalia itu. Engku Puteri tetap menolak, dan merasa sangat terhina oleh tawaran uang suap itu. Dia menganggap sikap arogan Raffles dan Farquhar itu sebagai tindakan penjajahan dan mau meramnpas kedaulatan Riau melalaui penguasaan Regalia kerajaan. Akhimya, karena gagal memiliki Regalia itu, dan agar pelantikan Tengku Husin tetap bermakna secara adat, mereka sengaja mengantit (mencopot) perabung istana Engku Puteri di Penyengat, dan dibawa ke Singapura, dan di jadikan simbol pelantikan. Tengku Husin akhimya dilantik sebagai sultan Singapura oleh Inggris (Februari 1819) dengan gelar Sultan Husin Mauhammadsyah, dan sejak itu Kerajaan Riau Lingga yang kekuasaannya termasuk Johor, Pahang, dan Singapura pecah dua. Riau Lingga dibawah Sultan Abdurrahman, dan Singapura, Johor dan Pahang dibawah Sultan Husinsyah. Pemisahan itu menjadi lebih nyata sejak Traktat London, tahun 1824. Kedua, ketika Belanda yang sudah bercokol kembali di Riau Lingga setelah tahun 1815 (perjanjian Wina) dan berbagi wilayah penjajahan dengan Inggris, mulai ikut cmpur dan membantu Sultan Abdurrahman untuk memiliki Regalia itu. Karena sejak dilantik menjadi Sultan Riau Lingga (1812 ), Sultan Abdurrahman tetap belum merasa sebagai Sultan, karena Regalia kerajaan itu belum dimilikinya. Karena itu, dia sempat merajuk dan meninggalkan Riau menuju Pahang, 1822, dan mengancam tak akan kembali ke Lingga sebelum Regalia itu dimilikinya. Meskipun dia dan Raja Djaafar dengan kekuasaannya bisa saja merampas Regalia itu dari tangan Engku Puteri yang tidak memiliki kekuasaan angkatan perang, serdadu dan senjata, namun mereka tetap tidak mau menggunakan kekerasan, dan merasa sangat kualat kalau sampai melakukan kekerasan. Regalia yang sakral dan sakti itu, akan kehilangan kuasa dan kesaksaralannya jika diambil dengan paksa, apalagi dengan darah. Karena itu, awal tahun 1822, setelah gagal membujuk Engku Puteri untuk menyerahkan secara sukarela regalia itu, Sultan dan Yang Dipertuan Muda, lalu mengirim utusan kepada Guibenur Jendral Belanda Van der Capellen di Batavia (utusan itu dipimpin oleh Raja Ahmad, adik Engku Puteri dan orang kepercayaan Raja Djaafar dan pelobi ulung, Sayed Zein al Qudsi ). Van der Capellen, lalu menugaskan Gubernur Belanda di Malaka, Timmermann Tyssen agar dapat membantu membujuk Engku Puteri menyerahkan perangkat kebesaran adat itu, dengan cara mengundang Engku Puteri ke Malaka. Tapi tawaran dan bujukan itu langsung ditolak mentah-mentah oleh Engku Puteri. Dia menantang Belanda dengan kata-katanya yang keras, dan memberitahu Belanda bahwa Regalia Kerajaan Riau Lingga itu adalah kedaulatan sebuah negeri, dan Regalia itu hanya boleh dimiliki oleh sebuah kekuasan yang benar-benar menjunjung tinggi adat dan tradisi pemerintahan negeri Melayu. Karena putus asa itulah, Sultan Abdurrahman merajuk ke Pahang dan mengancam tak mau kembali ke Riau. Belanda yang khawatir tindakan Sultan Abdurrahman itu akan memberi peluang Inggris menguasai Riau Lingga, karena mereka sudah merajakan Tengku Husin di Singapura, maka akhirnya Timmerman Tyssen didampingi Andrian Kock, bersama pasukannya datang dari Malaka, dan mengepung istana kediaman Engku Puteri di Penyengat. Dibawah todongan senapan dan ancaman kelewang, Regalia itu dirampas dari tangan Engku Puteri. Meskipun Engku Puteri diriwayatkan melawan dengan cara menghujat dan mencaci pelaku tak terpuji para serdadu dan utusan Gubernur Malaka itu. Regelia itu telah dirampas secara paksa, dan perempuan berhati baja itu, yang ketika itu berusia hampir setengah abad, memang tak berdaya mempertahankannya. Namun dia telah pekikkan kepada para serdadu dan Gubemur Malaka itu, bahwa Regalia yang sakral itu, telah kehilangan kesaktiannya, begitu dia diambil dengan paksa dan dirampas dari tangan orang yang telah menjaganya sepanjang usia. Regalia itu, dibawa ke kantor Residen Belanda di Tanjungpinang, dan disimpan disana. Kemudian, Sultan Abdurrahman pulang dari Pahang, setelah mendengar Regalia itu sudah jatuh ke tangan Belanda, dan akan diserahkan keapadanya. Dan November 1822, Sultan Abdurrahman pun dikukuhkan sebagai Sultan Riau Lingga dengan Sirih Besar dan perangkat Regalia lainnya. Dalam catatan sejarah dikatakan, pelantikan itu berlangsung dengan sangat sumbang, dan menyimpang dari berbagai adat resam negeri Melayu. Sepuluh tahun kemudian, sultan Abdurrahman meninggal, setelah setahun sebelumnya didahului kepergian Yang Dipertuan Muda Raja Djaafar. Setelah kejadian itu, bala dan bencana nyaris terus menerus menimpa kerajaan Riau Lingga, dan silih berganti kejatuhan terjadi. Mulai dari kezaliman Belanda memakzulkan Sultan Riau Lingga, seperti Sultan Mahmud Muzaffarsyah, 1857 (setelah 17 tahun memerintah) dan Sultan Abdurrahman Muaazzamsyah, 1911, sultan terakhir Riau Lingga. Maka berakhirlah imperium Melayu ini, dengan sejumlah jejak sejarah yang gemilang, cemerlang, dan juga kepedihan. V. Perlawan Kultur, adalah juga Kepahlawanan Apa yang dapat dipetik dari catatan-catatan singkat diatas tadi ? Pertama, kepahlawanan itu bukan hanya ditandai dengan perjuangan melawan penjajahan dan penindasan dengan bedil dan meriam. Bukan hanya persimbahan darah dengan kematian yang mengerikan. Tetapi juga perlawanan dengan budaya, perjuangan dengan kata-kata, dengan ketegaran hati, dan sikap tidak menyerah dalam mempertahankan kedaulatan dan harkat negeri. Perlawanan yang dilakukan Engku Puteri dalam mempertahankan Regalia Kerajan Riau Lingga itu, adalah perlawasan terhadap penjajahan dan penindasan yang ingin merampas kedaulatan Riau Lingga melalui perampadan terhadap simbol kedaulatan kerajaan Riau Lingga. Perlawanan menentang sikap zalim dan kejam para penjajah dalam menindas dan merendahkan harkat dan martabat suatu negeri, sebuah bangsa tang bernama Melayu. Sebuah rumpun bangsa, sebuah negeri, sebuah tradisi yang ratusan tahun sudah tegak dan berperan membangun rantau di nusantara ini. Kedua, Engku Puteri tidak menembakkan meriam, tidak mengangkat kelewang, tidak seperti ayahandanya Raja Haji Fisabilillah. Tapi dia melawan dengan keteguhan hati, kekuatan jiwa. Dia melakukan pemberontakan secara kultural terhadap kekuasaaan asing yang ingin menghancurkan kebudayaan sebuah negeri. Perlawanan budaya ini juga pemah dilakukan tahun 1902 dan 1903, ketika Sultan Abdurrahman Muazzamsyah (1885-1911) memerintahkan agar bendera Belanda tidak dipasang di Kapal kebesarannya, dan tanggal 1 Januan1903, dia memerintahkan pembesarnya agar memasang bendera Kerajaan Riau Lingga diatas bendera Belanda di pulau Pmyengat Peristiwa ini telah menimbulkan kemarahan Residen Belanda, dan menuduh Sultan Abdurrahman Muazamsyah telah membangkang dan memberontak. Sebuah pemberontakan kultural, yang jauh lebih tajam dan keras dampaknya dari pada perlawan bersenjata. Lalu, pahlawankah Engku Puteri? Berarti besarkah perlawanannya terhadap para penindas itu demi menyelamatkan Regalia yang menjadi simbol kedaulatan kerajaan Riau Lingga itu? Tak sebandingkah perjuangan dan ketegaran sikap perlawanannya itu dengan seribu meriam, seribu kapal perang, dan beribu mayat yang terbaring tewas? Tidak cukup pentingkah perlawanan seribu kata sang perempaun perkasa itu terhadap perjalanan sejarah bangsa ini? Seminar inilah yang akan menilai dan menjawabnya.  Daftar Bacaan : Abdullah Abdulkadir Munsyi ( Hamzah Hamdani, ed), Hikayat Abdulah, PTS Publications & Distributions SDN BHD, Selangor ( Malaysia ), 2007 Aswandi Syahri, Temenggung Abdul Jamal & Sejarah Temenggung Riau-Johor di Pulau Bulang 1722-1824, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan, Kota Batam, 2007 Hasan Junus, Engku Puteri Raja Hamidah, Pemegang Regalia Kerajaan, Unri Press, Pekanbaru,Riau, 2002 Hasan Junus, Karena Emas di Bunga Lautan, Unri Press, Pekanbaru, Riau, 2002 Hasan Junus, Raja Ali Haji, Sasrawan di Gerbang Abad XX, Unri Press, Pekanbaru,2002 Mukhtar Lutfi, dkk, Sejarah Riau, Pemda Riau, 1977. PC.R.Boxer, Yan Kompeni, Sejarah VOC dalam Perang dan Damai, Penerbit Sinar Harapan, Jakarta, 1983. Raja Haji Ahmad dan Raja Ali Haji (Verginia Matheson, ed), Tuhfat Al Nafis, Fajar Bakti SDN.BHD, Kuala Lumpur. Suwardi Ms. dkk, Sejarah Perjuangan Raja Haji Fisabilillah, Pemda Riau. 1989 Tun Sri Lanang (editor WG Shellabear), Sejarah Melayu, Fajar Bakti SDN.BHD, Kuala Lumpur, 1981.

Headset Virtual Reality Dengan Windows 10

sumber : http://technologue.id/microsoft-siapkan-headset-vr-tepat-update-windows-10-creators-rilis/


Headset Virtual Reality Dengan Windows 10



Technologue.id, Jakarta – Microsoft baru saja hadirkan laptop yang bernama Surface Book generasi terbaru kepada publik. Selain menghasilkan jajaran produk teknologi di tahun ini, Microsoft telah memperkenalkan headset virtual reality, khusus Windows 10 Creator mendatang.
Berbeda dengan headset Hololens yang sudah Microsoft ciptakan, headset nirkabel yang berbasis Augmented Reality (AR) yang dapat menggabungkan obyek virtual dengan dunia nyata.
Nah, headset VR Microsoft kali ini, murni hanya untuk menikmati konten virtual reality saja. Namun tersemat dengan teknologi baru didalamnya.
Keunggulan Headset VR milik Microsoft ini, dapat terhubung ke perangkat komputer maupun laptop yang berbasiskan software Windows 10 dengan teknologi Hollographic yang dikembangkan Microsoft.
Kemudian fitur yang disematkan pada headset berupa sensor yang dapat mendeteksi gerakan kepala dan memindai ruangan disekitar. Maka dari itu, tidak perlu sensor tambahan seperti perangkat Oculus Rift milik Facebook dan HTC Vive.
Sedangkan untuk menyajikan konten VR, Microsoft menggarap headset VR menyesesuaikan dengan pembaruan Windows 10 selanjutnya. Pembaharuan Windows 10 Creators akan menghadirkan beberapa fitur terbaru salah satunya aplikasi gambar yakni Paint. Aplikasi tersebut, bakal bisa memberikan sketsa fitur dalam mode tiga dimensi.
Selain itu, hadirnya fitur game streaming ke dalam Windows 10. Memungkinkan pengguna melakukan live streaming secara langsung melalui PC dan Xbox. Layanan ini juga dapat berinteraksi antara pengguna dan penonton.
Semakin menarik, Microsoft bertujuan untuk mempersiapkan ini semua dalam konten virtual reality di dalamnya.
Headset VR Microsoft rencananya akan hadir bersamaan setelah pembaharuan Windows 10 Creators Update. Pembaruan Windows tersebut dijadwalkan akan hadir pada bulan Maret tahun 2017 mendatang.

Rumor iPhone 8

SUMBER : http://id.gamehubs.com/article.php?qid=6901

iPhone 8




photo by Forbes
Seperti biasa, pada tahun 2017 ini sebuah produk keluaran baru Apple, iPhone 8 akan segera dirilis. Banyak rumor menyebutkan tentang spesifikasi serta kecanggihan terbaru yang mungkin akan hadir menghiasi ponsel pintar itu.
Salah satu yang menarik, adalah soal layarnya. Seperti yang kita ketahui bersama, pada tahun ini, iPhone resmi berusia 10 tahun. Tentunya jika melihat sejarah kebelakang, iPhone 8 harusnya memiliki teknologi paling mutakhir pada jamannya. iPhone 8 harus menjadi kiblat dunia ponsel pintar dan lebih unggul dibandingkan produk sejenis yang ada dipasaran.
Namun tampaknya pada tahun ini, banyak orang skeptis iPhone 8 bisa mengungguli seteru abadinya, Android. Berikut ini ada beberapa rumor seputar iPhone 8 seperti dilansir dari majalah kenamaan dunia Forbes:

Layar lengkung dengan teknologi OLED


photo by Forbes
iPhone 8 dikabarkan akan memiliki teknologi layar sentuh dengan bentuk lengkung, tidak kotak seperti biasanya dan disematkan teknologi OLED. Satu masalah yang terjadi jika iPhone 8 memiliki fitur ini. Ponsel Android banyak yang sudah memakai layar lengkung. Meskipun OLED belum disematkan.
Selang lima bulan sebelum iPhone 8 dirilis, para produsen Android dikabarkan sudah akan merilis perangkat dengan layar OLED ke pasar. Contohnya adalah perangkat buatan Samsung dengan merk dagang Galaxy 8. Tampilan visualnya kemungkinan akan mirip dengan iPhone dengan teknologi layar yang tidak jauh berbeda. Patut disayangkan, Galaxy 8 keluar pada bulan April tahun ini, sementara iPhone 8 masih belum memberikan kabar pasti.
Bahkan kini muncul sebuah kabar tidak hanya Galaxy 8 yang akan mempunyai produk visual seperti iPhone 8. Produk ponsel buatan Google pun dikabarkan akan memiliki spesifikasi layar yang sama. Google akan mengeluarkan merk dagang Pixel 2 pada tahun ini.
OLED merupakan teknologi baru bagi iPhone. Produk smartphone keluaran Apple itu biasanya memakai tampilan LCD. Keuntungan memakai OLED adalah pengguna dapat merasakan pengalaman visual yang lebih cerah, warna yang terang, kontras yang lebih baik dan tentunya mampu menghemat daya baterai.

Tanggal Rilis

photo by Silktide
photo by Silktide
Sejak pertama kali diluncurkan pada 10 tahun lalu, kehadiran iPhone selalu mampu menarik perhatian dunia. Banyak orang yang rela datang jauh-jauh ke Amerika serikat, hanya untuk menjadi pembeli ponsel yang pertama. Tidak sedikit dari mereka yang menginap di luar kantor perusahaan teknologi telekomunikasi itu, ketika mendekati waktu peluncuran.
Terakhir, ketika iPhone 7 dirilis banyak orang menanti keluarnya produk itu. iPhone 7 memiliki spesifikasi yang terbilang unik dan jauh dari bayangan pasar. Perangkat itu tidak menyertakan port untuk headset dan menggunakan USB-C. Setelah dianggap nyeleneh oleh pasar, tetapi kini produsen lain malah mengikuti jejak pembaruan tersebut.
Ada kabar yang menyebutkan, iPhone 8 tidak akan keluar pada bulan September. Rumor lain menyebutkan, iPhone 8 akan keluar pada tanggal 29 Juni 2017.
Namun tentunya kabar ini masih berupa rumor. Kalau dilihat dari hal lainnya, bahkan tanggal peluncuran ini hampir tidak mungkin untuk terjadi. iPhone 7 baru saja dirilis pada bulan September.
Artinya, Tim Cook dan kawan-kawan dari pihak Apple harus sudah mulai strategi baru untuk menghadirkan ponsel teranyar mereka hanya dalam waktu delapan bulan saja. Ini tentunya memiliki resiko tinggi, terlebih iPhone belakangan terlihat kurang revolusioner. Belum lagi, data terbaru menunjukkan bahwa keuntungan Apple menurun sebesar US$ 500 juta.